Amnesty International Kecam Pembubaran Paksa Aksi Damai "Piknik Melawan" oleh Satpol PP Jakarta
Amnesty International Kritik Pembubaran Aksi Damai "Piknik Melawan"
Amnesty International Indonesia mengecam keras tindakan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta yang membubarkan paksa aksi damai bertajuk "Piknik Melawan" di depan Gedung DPR/MPR RI. Organisasi hak asasi manusia ini menilai tindakan tersebut bertentangan dengan komitmen yang sebelumnya telah diungkapkan oleh Gubernur Jakarta, Pramono Anung, terkait perlindungan terhadap aksi demonstrasi damai.
Juru bicara Amnesty International Indonesia, Haerli Halim, dalam pernyataan resminya pada hari Kamis, (10/04/2025) menyatakan bahwa tindakan Satpol PP tidak sejalan dengan jaminan yang diberikan Gubernur Pramono. Sebelumnya, dalam pertemuan dengan Sekretaris Jenderal Amnesty International Indonesia pada Maret 2025, Gubernur Pramono menegaskan komitmennya untuk melindungi segala bentuk demonstrasi damai di wilayah Jakarta.
Pelanggaran Kebebasan Berekspresi
Amnesty International Indonesia mendesak Gubernur Pramono untuk memberikan teguran keras kepada Satpol PP atas tindakan represif tersebut. Mereka juga meminta agar Gubernur memberikan instruksi yang jelas kepada seluruh jajaran aparat penegak hukum di Jakarta untuk menghormati dan melindungi hak-hak demonstran damai.
"Pembubaran sepihak yang dilakukan oleh Satpol PP merupakan tindakan berlebihan dalam merespons aksi damai tersebut," tegas Haerli. Amnesty International Indonesia menekankan bahwa demonstrasi damai, baik dalam bentuk orasi di jalan maupun aksi perkemahan, merupakan bagian integral dari kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh konstitusi dan hukum internasional.
"Pada prinsipnya, demonstrasi damai tidak boleh dibubarkan oleh aparat, baik oleh kepolisian maupun oleh Satpol PP," imbuhnya.
Kronologi Aksi "Piknik Melawan" dan Pembubaran
Aksi "Piknik Melawan" sendiri digelar oleh sejumlah elemen masyarakat sipil sebagai bentuk protes terhadap pengesahan RUU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi Undang-Undang pada tanggal 20 Maret 2025. Aksi dimulai pada hari Senin, 7 April 2025, dengan pendirian tenda-tenda di depan Gerbang Pancasila Gedung DPR/MPR RI.
Pada hari Selasa, 8 April 2025, Pengamanan Dalam (Pamdal) DPR RI sempat memaksa para peserta aksi untuk memindahkan tenda mereka dari depan Gerbang Pancasila ke trotoar Jalan Gelora. Meskipun dipindahkan, para peserta aksi tetap melanjutkan aksi mereka dengan mendirikan tenda di seberang Gerbang Pancasila.
Namun, setelah bertahan selama tiga hari, aksi damai tersebut akhirnya dibubarkan secara paksa oleh Satpol PP pada hari Rabu, 9 April 2025, sekitar pukul 17.00 WIB. Pembubaran dilakukan meskipun sebelumnya telah terjadi negosiasi antara peserta aksi dengan pimpinan Satpol PP.
Alasan Pembubaran Versi Satpol PP
Kepala Satpol PP Jakarta Pusat, Tumbur Parluhutan Purba, menjelaskan bahwa pembubaran dilakukan karena massa aksi dinilai menggunakan trotoar secara tidak semestinya dan mengganggu pejalan kaki. Menurutnya, tindakan para peserta aksi melanggar Pasal 3 huruf i dan j juncto Pasal 54 ayat (1) Perda Nomor 8 Tahun 2007.
"Mereka menghambat atau membahayakan aktivitas mereka dan pejalan kaki tidak lewat," ujar Tumbur saat dikonfirmasi.
"Ketika aturan dilanggar dengan mendirikan tenda-tenda yang menghalangi pejalan kaki, itu yang menjadi atensi," tambahnya.
Kontradiksi antara Komitmen dan Tindakan
Tindakan pembubaran paksa ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap perlindungan kebebasan berekspresi dan hak untuk berkumpul secara damai. Pernyataan Gubernur Pramono yang menjanjikan perlindungan terhadap demonstrasi damai berbanding terbalik dengan tindakan represif yang dilakukan oleh Satpol PP di lapangan.
Amnesty International Indonesia mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap prosedur penanganan aksi demonstrasi dan memastikan bahwa aparat penegak hukum bertindak sesuai dengan standar hak asasi manusia yang berlaku.