Menjadi Pendengar Empatik: Mengatasi 'Toxic Positivity' dalam Merespon Curahan Hati

Menjadi Pendengar Empatik: Mengatasi 'Toxic Positivity' dalam Merespon Curahan Hati

Dukungan dari orang terdekat adalah pilar penting saat seseorang menghadapi masa sulit. Namun, seringkali, respons yang diberikan, meskipun berniat baik, justru terjebak dalam lingkaran toxic positivity. Fenomena ini, yang dipopulerkan oleh Dr. Riana Mashar, S.Psi., M.Si., Psikolog Klinis, mengacu pada dorongan berlebihan untuk selalu berpikir positif, bahkan ketika seseorang sedang mengalami emosi negatif yang valid.

Bahaya di Balik Kalimat Motivasi

Kalimat-kalimat seperti "Semangat!", "Kamu pasti bisa!", atau "Syukuri saja" mungkin terdengar menyemangati, tetapi dalam situasi tertentu, justru dapat memicu perasaan tidak dimengerti atau bahkan bersalah atas emosi yang dirasakan. Dr. Riana menekankan bahwa kalimat positif, tanpa pemahaman yang mendalam tentang konteks dan kebutuhan emosional individu, bisa menjadi kontraproduktif.

"Kalimat positif belum tentu solutif, apalagi jika diberikan tanpa memahami konteks cerita," tegas Dr. Riana.

Setiap individu memiliki cara unik dalam memproses emosi dan menghadapi masalah. Memaksakan pola pikir positif pada semua orang mengabaikan kompleksitas perasaan manusia dan berpotensi merugikan.

Mengenali Jebakan Toxic Positivity

Toxic positivity dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk, baik dalam interaksi dengan orang lain maupun dalam dialog internal. Beberapa contohnya meliputi:

  • Memberikan semangat sebelum mendengarkan curahan hati secara penuh.
  • Menekan emosi negatif seperti kesedihan atau kemarahan karena merasa harus selalu kuat.
  • Membandingkan masalah orang lain dengan masalah yang lebih besar untuk mengecilkan validitas perasaan mereka.

Alih-alih memberikan dukungan, perilaku-perilaku ini justru dapat menekan emosi yang perlu diekspresikan secara sehat untuk menjaga keseimbangan mental.

Kiat Menjadi Pendengar yang Empatik

Untuk menghindari toxic positivity dan memberikan dukungan yang tulus, berikut adalah beberapa tips yang disarankan oleh Dr. Riana:

  • Jadilah Pendengar Aktif: Fokuskan perhatian penuh pada cerita teman, tanpa menyela atau terburu-buru memberikan saran. Kehadiran dan kesediaan untuk mendengarkan seringkali sudah merupakan bentuk dukungan yang berharga.
  • Validasi Perasaan: Akui dan validasi emosi yang sedang dirasakan teman. Ungkapkan empati dengan mengatakan, "Itu pasti sangat berat. Aku bisa memahami mengapa kamu merasa kecewa."
  • Tawarkan Dukungan, Bukan Solusi Instan: Hindari memberikan solusi cepat atau menyuruh untuk segera move on. Tawarkan bantuan konkret dengan mengatakan, "Jika kamu membutuhkan teman untuk berbicara atau bantuan dalam hal lain, aku siap membantu."
  • Peka Terhadap Bahasa Tubuh: Perhatikan ekspresi wajah, gestur, dan nada suara teman. Komunikasi nonverbal seringkali menyampaikan lebih banyak daripada kata-kata. Dengarkan dengan mata dan hati.

Menghindari Toxic Positivity pada Diri Sendiri

Toxic positivity juga dapat mengintai dalam diri kita sendiri. Ketika menghadapi kekecewaan atau kesedihan, kita mungkin cenderung memaksa diri untuk terlihat baik-baik saja. Dr. Riana menekankan bahwa mengakui dan menerima emosi negatif adalah langkah penting dalam menjaga kesehatan mental.

"Diri sendiri juga butuh pengakuan atas emosi yang dirasakan. Menangis atau merasa kecewa itu manusiawi, dan perlu dilalui agar emosi tidak menumpuk," jelasnya.

Memberi diri izin untuk merasakan dan memproses emosi negatif adalah kunci untuk mencegah toxic positivity dan membangun resiliensi yang sejati. Dengan mempraktikkan penerimaan diri dan empati, kita dapat menciptakan ruang yang aman untuk pertumbuhan dan pemulihan emosional.

Dengan menghindari jebakan toxic positivity, kita dapat memberikan dukungan yang lebih bermakna bagi orang lain dan merawat kesehatan mental diri sendiri. Empati, validasi, dan kehadiran adalah kunci untuk menjadi pendengar yang baik dan membangun hubungan yang sehat. Ingatlah, terkadang, yang dibutuhkan bukanlah solusi instan, melainkan seseorang yang bersedia mendengarkan tanpa menghakimi.