Chatib Basri: Pandemi Covid-19 Lebih Menantang Dibanding Kondisi Ekonomi Saat Ini
Ekonom senior Chatib Basri menyatakan bahwa tantangan ekonomi terberat yang pernah dihadapi Indonesia, bahkan dunia, adalah pada masa pandemi Covid-19. Penilaian ini disampaikan untuk merespons pertanyaan mengenai seberapa genting situasi ekonomi saat ini dibandingkan dengan periode sebelumnya.
"Menurut saya, kondisi saat ini tidak seberat saat Covid-19," ujar Chatib dalam sebuah diskusi di Kompas TV. Ia menjelaskan bahwa pada masa pandemi, aktivitas produksi terhenti total di seluruh dunia. "Saat Covid-19, tidak ada produksi sama sekali. Orang bahkan tidak bisa bekerja. Jadi, situasi saat ini sebenarnya tidak separah itu," tambahnya.
Walaupun demikian, Chatib mengakui bahwa kondisi ekonomi saat ini tetap memerlukan perhatian serius. Ia menekankan bahwa meskipun dampak yang dirasakan mungkin tidak sebesar saat pandemi Covid-19, kewaspadaan tetap diperlukan.
Peluang di Tengah Tantangan: Diversifikasi Pasar Ekspor
Mengenai potensi dampak tarif yang diberlakukan oleh Amerika Serikat terhadap Indonesia, Chatib melihat adanya peluang untuk mengalihkan fokus perdagangan ke negara lain, khususnya Eropa. Ia mendorong percepatan penyelesaian Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA) sebagai langkah strategis.
"Kita bisa berdagang ke sana (Eropa). Jika kita kehilangan 10 persen pasar di AS, kita bisa mengkompensasinya dengan memperluas pasar ke Eropa," jelasnya. Diversifikasi pasar ekspor ini dianggap sebagai solusi untuk mengurangi ketergantungan pada satu negara dan memitigasi risiko yang mungkin timbul akibat kebijakan perdagangan negara lain.
Perbandingan dengan Krisis Moneter 1998
Chatib juga membandingkan situasi ekonomi saat ini dengan krisis moneter 1998. Meskipun nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mendekati level yang sama seperti saat itu, ia menekankan adanya perbedaan signifikan yang membuat kondisi saat ini lebih stabil.
Pada tahun 1998, banyak perusahaan meminjam dana dalam dolar AS dengan jangka pendek, sementara pendapatan mereka dalam rupiah. Ketika nilai tukar rupiah jatuh, utang mereka membengkak dan tidak mampu dibayar, yang kemudian memicu krisis perbankan. Saat ini, kondisi tersebut tidak terjadi karena beberapa faktor:
- Nilai NPL (Non-Performing Loan) yang Terkendali: Saat ini, NPL Indonesia berada pada kisaran 4 persen, jauh lebih rendah dibandingkan saat krisis 1998.
- Inflasi Terkendali: Inflasi saat ini berada di kisaran 2-3 persen, berbeda jauh dengan inflasi 1998 yang mencapai 60 persen.
- Suku Bunga yang Moderat: Suku bunga saat ini berada di kisaran 7 persen, jauh lebih rendah dibandingkan suku bunga 80 persen pada tahun 1998 yang mencekik dunia usaha.
Chatib menekankan pentingnya menjaga stabilitas ekonomi melalui manajemen kebijakan yang tepat. "Jika kita mengelola kebijakan ekonomi dengan benar, seharusnya kita tidak akan mengalami krisis seperti tahun 1998," tegasnya.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, Chatib Basri menyampaikan pandangan yang relatif optimis mengenai kondisi ekonomi Indonesia saat ini. Ia mengakui adanya tantangan, tetapi menekankan bahwa situasi saat ini tidak separah saat pandemi Covid-19 maupun krisis moneter 1998. Diversifikasi pasar ekspor dan manajemen kebijakan yang baik menjadi kunci untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.