Empati di Atas Motivasi: Seni Mendengarkan Curhat Tanpa 'Toxic Positivity'
Mendengarkan dengan Hati: Menghindari Jebakan 'Toxic Positivity' dalam Percakapan
Di era serba cepat dan tuntutan untuk selalu positif, terkadang kita lupa esensi dari mendengarkan. Kalimat-kalimat penyemangat seperti "Yuk, bisa yuk!" atau "Kamu harus semangat!" yang niatnya baik, justru bisa menjadi bumerang dan melukai perasaan lawan bicara. Fenomena ini dikenal sebagai toxic positivity, sebuah tekanan tersembunyi untuk terus menampilkan citra positif, bahkan ketika emosi yang dirasakan jauh dari itu.
Psikolog Dr. Riana Mashar dari Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menekankan bahwa toxic positivity dapat merusak komunikasi dan memperburuk kondisi emosional seseorang. Seringkali, yang dibutuhkan bukanlah solusi instan atau nasihat bijak, melainkan kehadiran yang tulus dan pengakuan bahwa emosi yang dirasakan valid.
Mengapa 'Toxic Positivity' Berbahaya?
Motivasi memang penting, tetapi ketika diutarakan tanpa memahami konteks dan perasaan orang lain, pesan tersebut bisa terasa sebagai penolakan terhadap emosi yang sedang dirasakan. Kalimat seperti "Kamu seharusnya bersyukur" atau "Masih banyak orang yang lebih susah" mungkin dimaksudkan untuk memberi perspektif, namun dalam momen yang sensitif, justru bisa membuat seseorang merasa bersalah karena telah merasakan kesedihan atau kekecewaan. Hal ini dapat berakibat pada:
- Menutup diri dan enggan berbagi perasaan.
- Menarik diri dari lingkungan sosial.
- Memendam emosi negatif yang berpotensi memicu masalah kesehatan mental di kemudian hari.
Mengenali Tanda-Tanda 'Toxic Positivity'
Tanpa disadari, kita bisa menjadi pelaku atau korban toxic positivity. Berikut adalah beberapa tanda yang perlu diwaspadai:
- Memberi nasihat positif tanpa mendengarkan cerita secara utuh: Terburu-buru menawarkan solusi sebelum memahami akar permasalahan yang dihadapi.
- Merasa bersalah saat merasakan emosi negatif: Menghukum diri sendiri karena merasa sedih, marah, atau kecewa.
- Memaksakan diri untuk selalu terlihat bahagia: Menyembunyikan perasaan yang sebenarnya dan berpura-pura baik-baik saja.
- Menghindari orang yang sedang curhat: Merasa tidak nyaman atau terbebani dengan masalah orang lain.
Menjadi Pendengar yang Lebih Baik: Kiat Praktis
Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa menjadi pendengar yang baik dan menghindari jebakan toxic positivity?
- Tahan keinginan untuk menasihati: Ingatlah, tidak semua cerita membutuhkan solusi. Terkadang, kehadiran dan empati jauh lebih berharga daripada seribu nasihat. Cukup dengan mendengarkan dan berkata "Aku memahami perasaanmu" sudah bisa memberikan rasa lega.
- Validasi perasaan, bukan menilainya: Hindari kalimat yang meremehkan emosi seperti "Kamu terlalu sensitif." Gantilah dengan kalimat yang menunjukkan penerimaan, misalnya "Wajar kok kalau kamu merasa seperti itu." Dr. Riana menjelaskan bahwa pengakuan semacam ini akan membuat orang merasa aman untuk membuka diri.
- Tawarkan dukungan, bukan dorongan berlebihan: Kalimat "Aku ada di sini jika kamu butuh teman" jauh lebih menenangkan daripada "Ayo dong, jangan menyerah!"
- Perhatikan bahasa tubuh dan ekspresi wajah: Mendengarkan bukan hanya tentang telinga, tetapi juga mata dan hati. Ekspresi dan nada bicara seringkali lebih jujur daripada kata-kata.
- Jangan keras pada diri sendiri: Toxic positivity juga bisa terjadi ketika kita memaksa diri untuk selalu ceria di tengah tekanan. Ingatlah, tidak apa-apa merasa sedih atau lelah. Menerima emosi negatif adalah bagian penting dari proses penyembuhan dan menunjukkan bahwa kita berani merawat diri.
Hadir, Dengar, dan Pahami
Menjadi pendengar yang baik tidak harus sempurna. Kita hanya perlu hadir sepenuhnya, tanpa menghakimi, dan memberikan ruang aman bagi orang lain untuk menjadi diri mereka sendiri. Karena seringkali, yang paling dibutuhkan bukanlah kalimat penyemangat yang klise, melainkan seseorang yang bersedia duduk diam, mendengarkan dengan hati, dan berkata, "Aku di sini, kamu tidak sendirian."