Polemik Rangkap Jabatan Ketua KPK di BPI Danantara: Potensi Konflik Kepentingan dan Pelanggaran Independensi
Polemik Rangkap Jabatan Ketua KPK di BPI Danantara: Potensi Konflik Kepentingan dan Pelanggaran Independensi
Penunjukan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai anggota Komite Pengawas dan Akuntabilitas Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) menuai sorotan tajam. Praktik rangkap jabatan ini memicu kekhawatiran serius terkait potensi konflik kepentingan dan pelanggaran terhadap prinsip independensi yang seharusnya dijunjung tinggi oleh lembaga antirasuah.
Pengumuman mengenai penunjukan Ketua KPK, Setyo Budiyanto, sebagai bagian dari Komite Pengawas dan Akuntabilitas BPI Danantara disampaikan oleh Kepala Badan Pelaksana BPI Danantara, Rosan Roeslani pada 24 Maret 2025. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai keselarasan antara peran sebagai penegak hukum tertinggi dalam pemberantasan korupsi dengan fungsi pengawasan internal di sebuah lembaga investasi negara.
Landasan Hukum dan Potensi Konflik
Keberadaan Komite Pengawas dan Akuntabilitas sendiri berlandaskan pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 2025 tentang Organisasi dan Tata Kelola BPI Danantara. Pasal 24 PP tersebut memberikan kewenangan kepada presiden untuk membentuk komite pemantau dan akuntabilitas. Meskipun demikian, detail mengenai tugas, fungsi, dan wewenang komite ini belum diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden (Perpres).
Kontroversi utama terletak pada potensi konflik kepentingan yang timbul akibat rangkap jabatan ini. Sebagai Ketua KPK, Setyo Budiyanto memiliki mandat untuk memberantas korupsi di semua lini, termasuk dalam pengelolaan aset negara yang dikelola oleh BPI Danantara. Namun, sebagai anggota Komite Pengawas dan Akuntabilitas, ia juga memiliki tanggung jawab untuk mengawasi operasional BPI Danantara, yang berarti ia menerima gaji dan fasilitas dari lembaga yang berpotensi menjadi objek pengawasannya.
Pelanggaran Undang-Undang dan Prinsip Tata Kelola
Secara eksplisit, rangkap jabatan ini dinilai melanggar Pasal 29 huruf i Undang-Undang (UU) No. 19 Tahun 2019 tentang KPK. Pasal ini mensyaratkan bahwa pimpinan KPK harus melepaskan jabatan struktural atau jabatan lain selama menjabat. Penunjukan sebagai anggota Komite Pengawas dan Akuntabilitas jelas merupakan jabatan lain yang bertentangan dengan ketentuan tersebut.
Selain itu, rangkap jabatan ini juga berpotensi melanggar prinsip tata kelola yang baik, khususnya prinsip "kemandirian" sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Prinsip kemandirian menekankan profesionalitas tanpa benturan kepentingan dan pengaruh dari pihak manapun. Keberadaan Ketua KPK dalam struktur BPI Danantara dapat mengganggu independensi KPK dalam melakukan pengawasan dan penindakan jika terjadi indikasi korupsi.
Konsekuensi dan Rekomendasi
Apabila terjadi praktik korupsi di BPI Danantara, posisi Ketua KPK di dalam struktur lembaga tersebut dapat menghambat penanganan kasus secara profesional dan transparan. Masyarakat akan meragukan objektivitas penegakan hukum jika seorang pejabat tinggi KPK memiliki keterkaitan finansial dengan lembaga yang sedang diselidiki.
Mengingat potensi risiko dan implikasi hukum yang serius, pemerintah perlu meninjau ulang penunjukan Ketua KPK sebagai anggota Komite Pengawas dan Akuntabilitas BPI Danantara. Presiden Prabowo Subianto memiliki kesempatan untuk tidak menerbitkan Peraturan Presiden yang secara eksplisit menunjuk Ketua KPK sebagai pengawas internal di BPI Danantara. Idealnya, KPK harus tetap berfungsi sebagai pengawas eksternal yang independen, sehingga dapat menjalankan tugasnya secara profesional tanpa terbebani oleh konflik kepentingan.
Dengan menjaga independensi KPK sebagai pengawas eksternal, pengelolaan aset negara senilai Rp 14.000 triliun di BPI Danantara dapat diawasi secara efektif, dan potensi terjadinya praktik korupsi dapat diminimalisir.
Daftar Poin Penting:
- Rangkap Jabatan Ketua KPK di BPI Danantara.
- Potensi Konflik Kepentingan.
- Pelanggaran UU KPK dan Prinsip Tata Kelola BUMN.
- Perlunya Pengawasan Eksternal yang Independen.