Kejahatan Seksual di RSHS Bandung: Sistem Pengawasan Pendidikan Kedokteran dipertanyakan

Tragedi di RSHS: Menguak Kelemahan Sistem Pengawasan Pendidikan Kedokteran

Kabar memilukan datang dari Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, di mana seorang dokter residen, Priguna Anugerah Pratama, ditetapkan sebagai tersangka pemerkosaan terhadap FH (21), seorang anggota keluarga pasien. Kasus ini bukan hanya mengguncang kepercayaan publik terhadap institusi kesehatan, tetapi juga menyoroti kelemahan mendasar dalam sistem pengawasan dan pendidikan kedokteran di Indonesia.

Peristiwa tragis ini terjadi di ruang medis yang seharusnya menjadi tempat penyembuhan, justru menjadi lokasi tindak kekerasan seksual yang keji. Priguna, seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), diduga kuat melakukan pembiusan dan pemerkosaan terhadap FH, memanfaatkan posisinya sebagai tenaga medis.

Cacat Sistemik dalam Pengawasan dan Pendidikan

Kasus ini membuka tabir gelap mengenai pengawasan yang longgar terhadap dokter residen, kontrol internal rumah sakit yang lemah, serta perlindungan yang minim bagi pasien dan keluarga pasien. Lebih dari sekadar tindakan kriminal individu, kasus ini mengindikasikan adanya cacat sistemik yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kekerasan di lingkungan rumah sakit.

Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu menjadi perhatian:

  • Pengawasan yang Tidak Memadai: Dokter residen seringkali menjalankan tugas medis di garda terdepan pelayanan rumah sakit pendidikan, namun pengawasan terhadap mereka terbukti tidak memadai. Institusi pendidikan dan rumah sakit seolah membiarkan mereka bekerja tanpa kontrol yang ketat, menciptakan ruang gelap yang rentan terhadap kejahatan.
  • Fokus pada Aspek Akademik: Pendidikan kedokteran cenderung terlalu menekankan aspek akademik dan keterampilan teknis, mengabaikan pembentukan karakter dan etika profesi. Akibatnya, dokter muda dengan pengetahuan medis yang tinggi namun minim moralitas berpotensi menyalahgunakan kekuasaannya.
  • SOP yang Lemah: Rumah sakit pendidikan seharusnya memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ketat untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Namun, kasus ini menunjukkan bahwa SOP yang ada tidak efektif, memungkinkan residen membawa keluarga pasien ke ruang medis tanpa prosedur resmi dan tanpa pengawasan.

Tanggung Jawab Institusi Pendidikan dan Rumah Sakit

Unpad dan RSHS tidak bisa hanya menyesali kejadian ini dan menyerahkannya kepada proses hukum. Mereka adalah bagian dari masalah dan harus bertanggung jawab untuk memperbaiki sistem yang ada.

Beberapa pertanyaan mendasar yang perlu dijawab:

  • Bagaimana mungkin seorang residen bisa membawa seorang perempuan ke ruang medis tanpa pendamping, membiusnya, dan memerkosanya tanpa diketahui oleh siapa pun?
  • Di mana pengawas residen? Di mana sistem kontrol internal?
  • Bagaimana prosedur medis yang memungkinkan seorang dokter muda membawa keluarga pasien ke ruang tindakan tanpa prosedur resmi?

Unpad juga harus mengevaluasi proses seleksi PPDS. Apakah seleksi hanya melihat IPK dan nilai akademik? Di mana asesmen psikologis? Bagaimana pembinaan etik dan kepribadian dijalankan?

Tuntutan Keadilan dan Pemulihan Korban

Pelaku dijerat Pasal 6 huruf c UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara. Namun, hukuman pidana bukan satu-satunya ukuran keadilan. Korban memerlukan pemulihan, perlindungan, dan penghormatan martabatnya yang direnggut.

Kasus ini juga harus mendorong kita untuk melihat kembali sistem pengawasan internal rumah sakit dan pendidikan kedokteran sebagai bagian dari pelindung HAM, bukan sekadar institusi teknokratis.

Krisis Kepercayaan Publik

Kejadian ini mencoreng kepercayaan publik terhadap profesi dokter dan institusi kesehatan. Pasien memercayakan hidup dan keselamatan mereka kepada tenaga medis. Ketika dokter menyalahgunakan kepercayaan itu, publik merasa dikhianati.

Jika pelanggaran ini tidak ditangani secara serius dan transparan, maka publik akan menarik mundur kepercayaannya dari rumah sakit, dari dokter, dari pendidikan kedokteran.

Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran

Sudah saatnya pemerintah turun tangan dengan langkah korektif yang sungguh-sungguh. Audit menyeluruh terhadap rumah sakit pendidikan perlu segera dilakukan, bukan hanya untuk menelusuri celah prosedur yang memungkinkan kekerasan terjadi, tetapi untuk memastikan bahwa ruang pelayanan publik benar-benar menjadi ruang yang aman bagi siapa pun yang masuk.

Berikut adalah beberapa langkah yang perlu diambil:

  • Kaji Ulang SOP: Prosedur operasional standar perlu dikaji ulang untuk memastikan bahwa residen tidak dapat bertindak tanpa pendampingan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.
  • Perbaiki Sistem Supervisi: Sistem supervisi terhadap peserta didik program dokter spesialis harus dibenahi. Keberadaan pengawas bukan sekadar formalitas, melainkan instrumen utama pencegah penyimpangan.
  • Reformasi Proses Seleksi: Proses seleksi calon dokter spesialis perlu direformasi. Bukan hanya nilai akademik yang diuji, tetapi juga integritas pribadi, kematangan psikologis, dan kepekaan etik.
  • Buka Sistem Pengaduan: Sistem pengaduan di rumah sakit pendidikan harus dibuka lebar-lebar. Pasien dan keluarga harus tahu ke mana melapor jika merasa tidak aman.

Pentingnya Moralitas dalam Pendidikan Kedokteran

Semua langkah di atas tidak akan berarti jika dunia pendidikan kedokteran terus mengabaikan aspek moralitas sebagai fondasi utama profesi. Selama etika tak menjadi napas dalam kurikulum dan dalam kultur institusi, maka secerdas apa pun lulusannya, ia tetap bisa menjadi ancaman.

Pendidikan kedokteran yang baik bukanlah pendidikan yang melahirkan dokter paling kompeten secara teknis, tetapi dokter yang paling bisa dipercaya. Dan kepercayaan itu lahir dari karakter, dari nilai, dari integritas yang diasah sejak dini.

Inilah saatnya dunia pendidikan kedokteran bercermin. Kita tidak sedang menghadapi krisis individu, tetapi krisis sistem. Dan saat sistem diam, publiklah yang terluka.

Transparansi adalah kunci untuk membangun kembali kepercayaan publik. Keadilan bukan sekadar menghukum pelaku, tetapi juga memastikan sistem tidak terus melahirkan pelaku baru.

Kasus ini adalah kasus pembiaran, pengabaian, dan kelalaian institusional. Ini tentang sistem pendidikan yang mengabaikan nurani. Ini tentang rumah sakit yang membiarkan ruangnya jadi tempat kekuasaan tunggal tanpa kontrol. Ini tentang negara yang terlambat hadir.

Dengan keberanian, kita bisa menuntut perubahan. Karena dalam ruang tindakan medis, tidak boleh ada satu pun ruang yang tidak diawasi. Tidak boleh ada satu pun nyawa yang tidak dilindungi. Dan tidak boleh ada satu pun suara korban yang dibius dalam diam.