Polemik Lahan Lempuyangan: Sultan HB X Mediasi KAI dan Warga Melalui GKR Mangkubumi
Sultan HB X Turun Tangan dalam Sengketa Lahan Lempuyangan
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengambil langkah proaktif dalam menyelesaikan sengketa lahan antara PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan warga RW 1 Kampung Tegal Lempuyangan, Bausaran, Danurejan, Kota Yogyakarta. Sultan menunjuk putrinya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi, untuk memediasi kedua belah pihak.
Perintah Sultan ini muncul di tengah penolakan warga terhadap rencana penataan Stasiun Lempuyangan yang berdampak pada tempat tinggal mereka. Warga khawatir proyek tersebut akan menggusur mereka dari lahan yang telah mereka tempati selama bertahun-tahun.
Alasan Pemanggilan PT KAI dan Warga
Sultan HB X menjelaskan bahwa pemanggilan PT KAI dan perwakilan warga Lempuyangan oleh GKR Mangkubumi adalah bagian dari wewenangnya sebagai Penghageng Datu Dana Suyasa, yang mengelola aset Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sultan menekankan pentingnya mendengarkan aspirasi kedua belah pihak secara langsung sebelum mengambil keputusan yang berdampak signifikan.
"Saya tidak ingin membuat pernyataan yang justru memperkeruh suasana. Saya ingin mendengarkan langsung dari kedua belah pihak terlebih dahulu," ujar Sultan, menegaskan komitmennya untuk mencari solusi yang adil dan bijaksana.
Penolakan Warga dan Penjelasan PT KAI
Seperti yang diberitakan sebelumnya, warga RW 1 Kampung Tegal Lempuyangan menolak rencana pemindahan terkait proyek penataan Stasiun Lempuyangan. PT KAI Daop 6 Yogyakarta menjelaskan bahwa lahan yang ditempati warga dan pedagang merupakan bagian integral dari proyek penataan stasiun yang bertujuan untuk meningkatkan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan penumpang.
Manager Humas PT KAI Daop 6 Yogyakarta, Feni Novida Saragih, menjelaskan bahwa peningkatan volume penumpang kereta api jarak jauh (KAJ) dan KRL di Stasiun Lempuyangan menuntut peningkatan kapasitas dan pengembangan area stasiun untuk memenuhi standar keselamatan dan kenyamanan yang lebih tinggi.
Kontroversi Surat Palilah dan SKT
Konflik ini semakin rumit dengan adanya perbedaan pandangan mengenai legalitas kepemilikan lahan. Warga mengklaim memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) yang menjadi dasar kepemilikan mereka, sementara PT KAI berpegang pada Surat Palilah dari Keraton Yogyakarta yang memberikan izin penggunaan lahan selama satu tahun.
Ketua RW 1 Kampung Tegal Lempuyangan, Anton Handriutomo, menjelaskan bahwa SKT memiliki fungsi serupa dengan Palilah, yakni sebagai syarat untuk memperoleh surat kekancingan dari Keraton. Namun, proses pengurusan surat kekancingan terhambat karena PT KAI belum memberikan surat keterangan kerelaan, mengingat bangunan-bangunan di lahan tersebut dianggap sebagai aset PT KAI yang berasal dari zaman NIS dan SS (perusahaan kereta api zaman Belanda).
Berdasarkan informasi yang diperoleh warga, terdapat 13 rumah kuno peninggalan Belanda yang akan diminta kembali oleh PT KAI. Warga juga diminta untuk mengosongkan bangunan tersebut pada akhir Mei, yang memicu aksi penolakan melalui pemasangan spanduk-spanduk.
Mediasi Sebagai Upaya Mencari Solusi
Penunjukan GKR Mangkubumi sebagai mediator diharapkan dapat menjembatani perbedaan pandangan antara PT KAI dan warga, serta menghasilkan solusi yang mempertimbangkan kepentingan semua pihak. Mediasi ini menjadi krusial untuk menghindari potensi konflik yang lebih besar dan memastikan proyek penataan Stasiun Lempuyangan dapat berjalan dengan lancar tanpa mengorbankan hak-hak warga.
Sultan HB X berharap mediasi ini akan menghasilkan titik temu yang adil dan berkelanjutan, sehingga sengketa lahan Lempuyangan dapat diselesaikan dengan damai dan bermartabat.