Skandal Kekerasan Seksual di RSHS Bandung: Legislator PKB Desak Pembenahan Total dan Sanksi Tegas
Anggota DPR RI Geram: Kasus Dokter PPDS di RSHS Bandung Ungkap Lemahnya Pengawasan dan Etika Profesi
Kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang dokter residen anestesi (PPDS) Universitas Padjajaran, Priguna Anugerah, terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat, memicu kemarahan dan keprihatinan mendalam dari berbagai pihak. Anggota Komisi IX DPR RI, Arzeti Bilbina, secara keras mengecam tindakan tersebut dan menyoroti potensi adanya kelalaian sistemik yang memungkinkan terjadinya peristiwa memilukan ini.
"Ini bukan sekadar ulah oknum, tetapi kegagalan sistemik," tegas Arzeti, Jumat (11/4/2025). "Institusi, rumah sakit, bahkan sistem keamanan, semuanya turut bertanggung jawab. Bagaimana mungkin seorang pasien dan keluarganya yang datang mencari kesembuhan justru menjadi korban kejahatan di rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat aman dan terpercaya?"
Arzeti mengungkapkan kekecewaannya atas hilangnya rasa aman dan nyaman bagi pasien di RSHS. Ia menekankan bahwa rumah sakit seharusnya menjadi tempat di mana pasien dan keluarga merasa terlindungi dan mendapatkan perawatan terbaik, bukan malah menjadi lokasi terjadinya tindak pidana.
Desakan Sanksi Tegas dan Audit Menyeluruh
Politikus PKB ini mendesak agar kasus ini dikawal secara tuntas dan transparan. Ia bahkan mengusulkan pemberian sanksi tegas kepada RSHS, termasuk kemungkinan pembekuan sementara operasional, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kelalaian dalam pengawasan dan pencegahan tindak kejahatan.
"RSHS harus diblokir sementara dan didenda!" serunya. "Jangan mentang-mentang punya nama besar dan jaringan kuat. Pasien dan keluarga berhak merasa aman dan terlindungi di rumah sakit."
Arzeti juga menyoroti peran Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi profesi yang memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga etika dan moralitas anggotanya. Ia meminta IDI tidak hanya mengutuk tindakan pelaku, tetapi juga mengambil langkah konkret untuk memperketat pengawasan dan penegakan disiplin.
"IDI harus membuat mekanisme pengawasan etik yang lebih tegas, termasuk menyediakan platform pengaduan khusus bagi pasien dan keluarga yang menjadi korban," ujarnya. "Sanksi pencabutan izin praktik secara permanen harus diberlakukan bagi dokter yang terbukti melakukan pelanggaran etika dan kejahatan seksual."
Reformasi Pendidikan Kedokteran dan Pengawasan PPDS
Arzeti menekankan bahwa kasus ini bukan hanya sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap etika profesi dan relasi kepercayaan antara dokter dan pasien. Ia mendesak institusi pendidikan kedokteran dan rumah sakit untuk melakukan reformasi menyeluruh dalam sistem seleksi dan pelatihan PPDS.
"Penilaian terhadap calon dokter spesialis tidak boleh hanya berdasarkan kemampuan akademik dan teknis medis, tetapi juga aspek kepribadian, psikososial, dan rekam jejak etik," tegasnya.
Ia menambahkan, "Jika seorang calon dokter spesialis bisa menyalahgunakan posisi dan ruang kerjanya untuk kejahatan sekeji itu, maka ada yang keliru dalam sistem pendidikan kedokteran kita."
Arzeti juga meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) untuk menerbitkan regulasi baru atau merevisi kebijakan terkait pengawasan PPDS. Ia berharap kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
"Kami mendorong adanya audit mendalam terhadap semua rumah sakit pendidikan," kata Arzeti. "Kemenkes juga perlu membentuk tim inspeksi mendadak yang menyelidiki praktik-praktik rawan kekerasan seksual di lingkungan rumah sakit pendidikan."
Kronologi Kasus dan Ancaman Hukuman
Kasus ini bermula ketika Priguna Anugerah, yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, meminta korban berinisial FH (21) untuk diambil darah pada tanggal 18 Maret 2025 dini hari. Korban dibawa ke Gedung MCHC lantai 7 RSHS Bandung, di mana ia diminta mengganti pakaian dengan baju operasi dan kemudian disuntikkan cairan yang membuatnya tidak sadarkan diri. Saat sadar, korban merasakan sakit dan melaporkan kejadian tersebut kepada orang tuanya.
Priguna Anugerah dijerat dengan Pasal 6 C Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Arzeti menutup pernyataannya dengan menyerukan kepada semua pihak terkait untuk bersatu padu dalam memberantas kekerasan seksual di lingkungan rumah sakit dan memastikan program pendidikan kedokteran berjalan dengan baik.