Praktik Ormas Menghambat Pertumbuhan Industri Mebel Indonesia: HIMKI Desak Pemerintah Intervensi

Praktik Ormas Menghambat Pertumbuhan Industri Mebel Indonesia: HIMKI Desak Pemerintah Intervensi

Industri mebel Indonesia tengah menghadapi tantangan serius yang menghambat pertumbuhannya, bukan hanya dari persaingan global, melainkan juga dari praktik-praktik yang dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas) tertentu. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur, dalam ajang Indonesia International Furniture Expo 2025 di JiExpo Kemayoran, Jakarta. Sobur menegaskan bahwa aktivitas ormas yang mengganggu operasional perusahaan, khususnya perusahaan mebel berskala besar, telah menyebabkan Indonesia tertinggal dalam persaingan, terutama dengan Vietnam.

"Kita sedang bersaing dengan negara seperti Vietnam yang relatif bebas dari gangguan semacam ini," ujar Sobur. "Mereka dapat tumbuh pesat, sementara kita masih terbebani masalah tersebut." Pernyataan ini menggarisbawahi dampak signifikan dari praktik-praktik ormas yang dinilai sebagai tindakan premanisme terhadap iklim investasi dan pertumbuhan industri mebel nasional. HIMKI mendesak pemerintah untuk mengambil langkah tegas dalam menertibkan aktivitas ormas yang dinilai merugikan tersebut. Keengganan untuk membahas masalah ini secara terbuka, seperti yang diungkapkan oleh Ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI), Sanny Iskandar, menunjukkan betapa seriusnya dampak yang ditimbulkan.

Dampak negatif dari gangguan ormas terhadap industri mebel bukan hanya sekadar hambatan operasional. Kehilangan kesempatan investasi dan kerugian finansial mencapai ratusan triliun rupiah, seperti yang diungkapkan oleh Iskandar, menjadi gambaran nyata betapa besarnya kerugian yang ditanggung negara. Investasi asing yang dipromosikan pemerintah seringkali terhambat karena tekanan dari ormas yang meminta berbagai macam jatah, mulai dari penyediaan transportasi dan katering hingga tuntutan agar pekerjaan diberikan kepada putra daerah tanpa melalui proses tender yang transparan.

Perbandingan dengan Vietnam semakin memperjelas permasalahan ini. Vietnam, yang telah memiliki perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan AS dan Eropa selama 20 tahun, serta diuntungkan oleh relokasi industri mebel dari China (sebanyak 630 perusahaan dalam 10 tahun terakhir), mampu mengekspor mebel senilai 20 juta dolar AS. Keberhasilan Vietnam ini menjadi contoh nyata bagaimana iklim investasi yang kondusif dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor industri. Sebaliknya, Indonesia masih menghadapi kendala akses ke pasar AS, antara lain karena belum memiliki FTA yang komprehensif dan masalah keamanan akibat gangguan ormas.

Lebih jauh, Iskandar menjelaskan bahwa praktik-praktik ormas ini tersebar luas di berbagai kawasan industri di Indonesia, termasuk Karawang, Bekasi, Jawa Timur, dan Batam. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan ini bukan sekadar kasus-kasus terisolasi, melainkan fenomena sistemik yang memerlukan penanganan serius dari pemerintah. Tanpa adanya intervensi yang efektif dari pemerintah, industri mebel Indonesia akan terus tertinggal dalam persaingan global dan berpotensi kehilangan investasi yang sangat dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah perlu menjamin keamanan dan kepastian hukum bagi investor agar iklim usaha dapat semakin kondusif.

*Daftar poin penting praktik ormas yang merugikan: * Pungutan liar dan permintaan jatah dari ormas kepada perusahaan mebel. * Tuntutan pekerjaan diserahkan kepada putra daerah tanpa proses tender yang transparan. * Hambatan akses pasar internasional bagi industri mebel Indonesia. * Kerugian finansial mencapai ratusan triliun rupiah akibat gangguan ormas. * Kehilangan kesempatan investasi asing. * Persaingan tidak sehat dengan negara lain seperti Vietnam.