Negara Berkembang di Tengah Perang Tarif AS-China: Strategi Lepas dari Jeratan Ketergantungan Global

Perang Tarif AS-China: Momentum Transformasi bagi Negara Berkembang

Eskalasi perang tarif antara Amerika Serikat dan China bukan sekadar perseteruan dagang, melainkan rivalitas geopolitik yang mendefinisikan ulang lanskap ekonomi global. Bagi negara-negara berkembang, konflik ini adalah ujian berat yang menuntut respons strategis untuk melepaskan diri dari jeratan ketergantungan.

Kebijakan proteksionis yang digagas era Donald Trump, kini bertransformasi menjadi persaingan teknologi yang luas. Negara berkembang kini berada di persimpangan jalan. Fragmentasi ekonomi global menjadi blok-blok perdagangan yang terpisah menjadi keniscayaan. Amerika Serikat gencar mempromosikan friend-shoring dengan mengutamakan rantai pasok dari negara-negara sekutunya. Sementara itu, China memperkokoh dominasinya di Asia dan Afrika melalui Belt and Road Initiative (BRI).

Terjebak di antara dua kekuatan besar ini, negara berkembang menghadapi dilema untuk memilih pihak, pilihan yang berimplikasi besar pada ekonomi dan geopolitik. Ketergantungan struktural dan kerentanan ekonomi menjadi isu krusial yang harus diatasi.

Mengurai Ketergantungan Struktural dan Memperkuat Ketahanan Ekonomi

Hubungan asimetris antara negara berkembang dan pusat-pusat ekonomi global telah menumbuhkan ketergantungan struktural yang sulit diubah. Ketika tarif diberlakukan dan rantai pasokan global terganggu, negara berkembang menjadi pihak yang paling terpukul. Negara-negara yang terlalu bergantung pada ekspor ke pasar AS atau China akan menghadapi tekanan besar ketika kedua negara mengurangi ketergantungan ekonomi satu sama lain.

Indonesia, dengan ekspor yang didominasi komoditas primer ke China dan impor barang konsumsi dari kedua negara, berisiko mengalami defisit perdagangan yang melebar dan pertumbuhan ekonomi yang terhambat. Perang tarif ini memperdalam ketimpangan struktural dalam ekonomi global. Negara maju dengan basis teknologi dan industri yang kuat akan lebih mudah beradaptasi, sementara negara berkembang akan terus terperangkap dalam posisi subordinat dalam rantai nilai global.

Berikut langkah strategis dari reaktif menuju transformatif:

  • Integrasi Ekonomi Regional: ASEAN perlu bertransformasi menjadi unit ekonomi yang lebih kohesif dengan kebijakan industri bersama dan standar regulasi yang harmonis. Pemanfaatan perjanjian seperti RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) secara maksimal, tidak hanya untuk meningkatkan volume perdagangan, tetapi juga untuk membangun kapasitas industri regional.
  • Pendanaan Infrastruktur Regional: Pengembangan mekanisme pendanaan infrastruktur regional yang mengurangi ketergantungan pada investasi China atau Amerika Serikat, seperti penguatan Asian Infrastructure Investment Bank dengan kontribusi lebih besar dari negara-negara anggota.
  • Orientasi Domestik dan Regional: Tinjau ulang model pembangunan yang selama ini terlalu berorientasi pada ekspor. Mengembangkan model ekonomi yang lebih mengandalkan permintaan domestik dan regional.
  • Redistribusi Pendapatan dan Jaminan Sosial: Kebijakan redistribusi pendapatan, perluasan jaminan sosial, dan investasi dalam infrastruktur publik akan menciptakan basis konsumsi domestik yang kuat, mengurangi ketergantungan pada ekspor ke pasar negara maju.
  • Hilirisasi Sumber Daya Alam: Program hilirisasi sumber daya alam dipercepat dan diperdalam, tidak sekadar berhenti pada pengolahan dasar, tetapi melangkah ke produksi barang jadi dengan nilai tambah tinggi.
  • Penguasaan Teknologi: Adopsi kebijakan transfer teknologi yang lebih agresif dalam negosiasi investasi asing. Insentif fiskal sebaiknya diberikan dengan persyaratan ketat tentang lokalisasi teknologi dan pengembangan kapasitas lokal.
  • Investasi Teknologi Digital: Pemerintah perlu berinvestasi dalam teknologi kunci seperti komputasi awan, kecerdasan buatan, dan analitik data besar untuk mengurangi ketergantungan pada platform asing.

Membangun Kekuatan Kolektif dan Diversifikasi Kemitraan

Negara-negara berkembang perlu membentuk koalisi yang lebih kuat untuk mereformasi sistem perdagangan global. G77 harus direvitalisasi sebagai blok negosiasi yang efektif di WTO. Mengajukan proposal konkret untuk reformasi aturan perdagangan yang lebih berpihak pada kepentingan negara berkembang. Mengadvokasi reformasi sistem hak kekayaan intelektual yang memungkinkan akses lebih luas pada teknologi esensial, terutama di bidang kesehatan, energi bersih, dan pertanian. Negosiasi kolektif akan memberikan daya tawar yang lebih kuat dibandingkan pendekatan bilateral.

Untuk menghindari jebakan ketergantungan baru, negara-negara berkembang perlu mendiversifikasi kemitraan ekonomi mereka. Memperdalam hubungan dengan kekuatan ekonomi menengah seperti Korea Selatan, Australia, Uni Eropa, dan Jepang. Kemitraan ini sebaiknya melampaui perdagangan komoditas, mencakup kerja sama teknologi, pengembangan sumber daya manusia, dan proyek infrastruktur bersama. Kawasan berkembang lain seperti Afrika dan Amerika Latin juga menawarkan peluang untuk kerja sama Selatan-Selatan yang lebih substantif.

Otonomi Strategis: Kunci Menuju Masa Depan yang Berkelanjutan

Perang tarif AS-China telah membuka mata dunia tentang bahaya ketergantungan berlebihan dalam sistem global yang timpang. Ini menjadi momentum untuk mengejar "otonomi strategis"—kemampuan untuk membuat keputusan ekonomi secara independen sambil tetap terintegrasi dalam ekonomi global. Langkah-langkah di atas adalah strategi untuk mereposisi negara berkembang dalam sistem tersebut.

Dengan memperkuat kapasitas domestik, membangun aliansi regional, dan menegaskan kepentingan kolektif dalam forum global, negara-negara berkembang dapat bertransformasi dari objek menjadi subjek dalam ekonomi global. Masa depan ekonomi global yang lebih adil dan berkelanjutan bergantung pada keberhasilan negara-negara berkembang dalam mengatasi jebakan ketergantungan struktural. Indonesia, dengan posisi strategisnya sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G20, memiliki kesempatan dan tanggung jawab untuk memimpin transformasi ini. Perang tarif AS-China bukan hanya tantangan, tetapi juga katalis untuk perubahan paradigma pembangunan yang sudah lama tertunda—dari dependensi menuju otonomi strategis dalam tatanan global yang multipolar.