Bripka Hengki: Pengabdian Tanpa Batas di 'Jalan Maut' Perbatasan Krayan
Di jantung Kalimantan Utara, tepatnya di wilayah Krayan, Nunukan, seorang polisi bernama Bripka Hengki mengukir kisah pengabdian yang luar biasa. Krayan, yang sering disebut sebagai "Nusa Kambangan 2" karena lokasinya yang terpencil, menjadi saksi bisu perjuangan seorang abdi negara yang tak kenal lelah.
Sejak tahun 2011, Bripka Hengki, seorang Bhabinkamtibmas di Polsek Krayan Induk, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Krayan. Jalanan yang rusak parah, longsor yang mengancam, dan lumpur yang menghalangi, adalah "teman" sehari-harinya. Kondisi infrastruktur yang memprihatinkan ini membuat wilayah Krayan seolah terisolasi dari dunia luar.
"Kondisi jalan di sini sangat memprihatinkan. Di antara Longrian dan Paumung, longsor terjadi di dua titik. Mobil tidak bisa melintas sama sekali, hanya motor yang bisa lewat dengan memanfaatkan jalan kayu yang dibuat oleh warga," ungkap Bripka Hengki saat ditemui di Krayan.
Saat ini, Bripka Hengki bertanggung jawab membina 8 hingga 10 desa di wilayah Krayan Timur, termasuk Desa Sinarbaru. Meskipun jarak antar desa, seperti dari Krayan Induk ke Krayan Timur, hanya sekitar 4-5 kilometer, medan yang ekstrem membuat perjalanan terasa seperti sebuah petualangan yang tak berujung. "Perjalanan ke Desa Wayagung bahkan lebih ekstrem lagi. Lumpur, lubang, dan risiko besar selalu mengintai," tambahnya.
Panggilan Jiwa di Perbatasan
Menjadi seorang polisi perbatasan bagi Bripka Hengki bukan sekadar tugas, melainkan sebuah panggilan jiwa. Ia mengaku pernah menangis dalam hati, bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena prihatin melihat kondisi kehidupan warganya. "Kita menangis memikirkan, Indonesia sudah berapa tahun merdeka, tetapi di sini belum merasakan kemerdekaan itu seperti apa. Masalah jalan saja," ujarnya dengan nada sedih.
Medan yang berat seringkali membuat Bripka Hengki dan timnya terjebak. Ia menceritakan pengalaman saat mengawal tim dari Krayan, di mana seorang tamu dari Jakarta bahkan menangis karena kondisi jalan yang sangat buruk. "Secara manusia, kita tidak sanggup. Tetapi kita harus tetap jalan, karena desa-desa ini harus dijangkau," tegasnya.
Tantangan lain yang dihadapi Bripka Hengki adalah minimnya kendaraan operasional yang memadai. Motor dinas yang ada pun sudah tidak layak untuk digunakan di medan Krayan yang berat. "Sampai sekarang, motor dinas tidak ada. Kita memodifikasi motor sendiri, mencicil dari gaji," ungkapnya.
Biaya operasional juga menjadi beban tersendiri bagi Bripka Hengki. Untuk mengunjungi satu desa dalam sehari, ia harus mengeluarkan setidaknya Rp 250 ribu untuk bahan bakar, yang harganya mahal di wilayah terpencil tersebut. Belum lagi biaya perawatan motor dan kebutuhan lainnya, seperti membawa buah tangan untuk warga, mulai dari gula, roti, hingga obat-obatan. "Anggaran dinas cuma Rp 1 juta lebih sebulan. Itu tidak cukup untuk operasional, apalagi untuk membawa bantuan ke warga," keluhnya.
Kenangan di Krayan Selatan
Bripka Hengki mulai bertugas di Krayan Selatan pada tahun 2011. Saat itu, akses jalan masih belum ada. Ia pernah berjalan kaki selama 14 jam dari Krayan Induk ke Krayan Selatan, membawa beras dan perlengkapan masak. "Kita berburu di hutan untuk makan. Risiko hewan buas ada, tetapi sebagai orang Dayak, kita sudah biasa," kenangnya.
Kondisi jalan yang ada saat ini, meski sudah ada jalan lingkar, masih jauh dari kata layak. Bripka Hengki menyebutnya sebagai "jalan menuju kematian". Ia mempertanyakan mengapa pemerintah lebih memilih untuk memberikan subsidi pesawat daripada mengalokasikan anggaran untuk membangun jalan yang layak. "Daripada subsidi pesawat, kenapa pemerintah tidak alokasikan anggaran untuk bangun jalan yang layak?" kritiknya.
Di tengah segala keterbatasan, Bripka Hengki tetap setia menjalankan tugasnya. Ia bahkan pernah bergegas ke desa saat malam hujan demi menangani kejadian darurat, meskipun akhirnya harus menunda karena mempertimbangkan keselamatan. "Kita utamakan koordinasi dengan aparat desa dulu. Medan berat, tidak mungkin tembus satu-dua jam," jelasnya.
Loyalitas di Perbatasan
Ketika ditanya tentang warga Krayan yang sering mengambil kebutuhan pokok dari Malaysia karena keterbatasan akses, Bripka Hengki menegaskan loyalitas mereka pada Indonesia. "Perut mungkin di Malaysia, tapi dada kita tetap Garuda. Warga di sini setia sama NKRI," tegasnya.
Ia juga menyayangkan adanya oknum yang menyalahgunakan subsidi pemerintah, yang seharusnya diperuntukkan bagi warga. Meskipun harus merogoh kocek pribadi dan menghadapi tekanan berat, Bripka Hengki tidak pernah berpikir untuk mundur. "Kalau bukan kita, siapa lagi yang menolong? Walaupun tidak bisa bantu 100 persen, setidaknya kita bisa bantu sedikit. Itu yang membuat kita bertahan," ujarnya dengan penuh keyakinan.
Sebagai penutup, Bripka Hengki memberikan pesan kepada masyarakat dan rekan-rekan polisi. "Pekerjaan polisi itu mulia, tetapi tergantung cara kita menjalankannya. Jadilah orang yang berguna bagi orang lain. Jangan pikir kita yang paling menderita, karena masih ada yang lebih sengsara," tuturnya bijak.