Rupiah Perkasa di Penutupan Pekan, Sentimen Perang Dagang Redam Dolar AS
Rupiah Kokoh Mengakhiri Perdagangan Pekan Ini
Jakarta, Indonesia - Rupiah menunjukkan performa impresif pada penutupan perdagangan Jumat (11/4/2025), menguat terhadap Dolar Amerika Serikat (AS). Penguatan ini terjadi di tengah sentimen pasar yang didorong oleh kekhawatiran atas potensi dampak perang dagang antara AS dan Tiongkok.
Menurut data Bloomberg, Rupiah ditutup pada level Rp 16.795 per Dolar AS di pasar spot, mencatat apresiasi sebesar 0,16% dibandingkan dengan posisi perdagangan sebelumnya. Pergerakan Rupiah sepanjang hari berkisar antara Rp 16.765 hingga Rp 16.823 per Dolar AS.
Bank Indonesia (BI) melalui kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) mencatat Rupiah berada di level Rp 16.805 per Dolar AS.
Kinerja Mata Uang Regional
Secara umum, mayoritas mata uang di kawasan Asia menunjukkan penguatan terhadap Dolar AS pada hari yang sama. Beberapa mata uang yang mencatat kenaikan signifikan antara lain:
- Yen Jepang: Menguat 1,25%
- Baht Thailand: Menguat 0,82%
- Peso Filipina: Menguat 0,59%
- Won Korea Selatan: Menguat 1,32%
- Dolar Singapura: Menguat 0,68%
- Dolar Hong Kong: Menguat 0,03%
Sementara itu, Yuan Tiongkok justru mengalami pelemahan tipis sebesar 0,10%.
Analisis Pasar
Lukman Leong, analis dari Doo Financial Futures, menjelaskan bahwa penguatan Rupiah sejalan dengan tren positif yang dialami oleh sebagian besar mata uang global, kecuali Yuan Tiongkok. Kekhawatiran pelaku pasar terhadap eskalasi perang dagang antara Tiongkok dan AS menjadi faktor utama yang memicu pergerakan ini. Investor cenderung melepas aset Dolar AS dan beralih ke mata uang lain yang dianggap lebih aman.
"Rupiah dan mata uang regional serta mata uang utama dunia pada umumnya menguat terhadap Dolar AS yang kembali turun tajam hari ini, dengan investor melepas aset dan Dolar AS oleh kekhawatiran seputar tensi perang dagang China-AS," jelas Lukman.
Ketegangan perdagangan antara Tiongkok dan AS memang meningkat dalam beberapa waktu terakhir, ditandai dengan saling menaikkan tarif impor. Bahkan, Presiden AS saat itu, Donald Trump, memutuskan untuk menaikkan tarif impor terhadap produk Tiongkok menjadi 125% dari sebelumnya 104%, kebijakan yang segera diterapkan dan memperburuk hubungan dagang kedua negara.