Jerat Hukum Pagar Laut Ilegal: Negara Merugi Lebih dari Sekadar Materi

Pagar Laut Ilegal: Kerugian Negara yang Terabaikan dan Perlunya Perspektif Hukum yang Lebih Luas

Kasus pembangunan pagar laut ilegal di Kabupaten Bekasi dan Tangerang menjadi sorotan tajam terkait bagaimana sistem hukum di Indonesia memandang kerugian negara. Praktik yang merugikan masyarakat pesisir ini membuka mata akan perlunya redefinisi kerugian negara, tidak hanya sebatas kerugian finansial, tetapi juga mencakup kerusakan ekologis dan pelanggaran hak-hak sosial masyarakat.

Manipulasi Ruang Laut dan Dampaknya Bagi Masyarakat Pesisir

Di dua wilayah pesisir tersebut, terungkap praktik penguasaan ruang laut yang seharusnya menjadi milik publik oleh pihak-pihak tertentu. Di Desa Segarajaya, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, kasus pemalsuan dokumen sertifikat hak milik (SHM) di area laut bahkan menyeret sejumlah perangkat desa sebagai tersangka. Area laut yang seharusnya menjadi milik publik justru dipagari dan dijadikan jaminan pinjaman ke bank swasta. Akibatnya, akses para nelayan ke wilayah tangkap tradisional mereka tertutup, mengancam mata pencaharian dan keberlangsungan hidup mereka.

Modus serupa juga terjadi di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, di mana wilayah laut direklamasi dan dipagari secara ilegal melalui penerbitan sertifikat tanah yang meragukan. Kasus ini juga menyeret kepala desa setempat sebagai tersangka.

Perbedaan Pandangan Aparat Penegak Hukum

Ironisnya, meskipun terdapat indikasi kuat manipulasi dokumen, penguasaan ruang laut tanpa izin, dan dampak sosial yang signifikan, Bareskrim Polri awalnya tidak menerapkan pasal korupsi. Mereka berdalih tidak menemukan kerugian negara secara finansial, sehingga kasus ini hanya diproses sebagai tindak pidana umum seperti pemalsuan dokumen.

Namun, Kejaksaan Agung menunjukkan pandangan yang berbeda. Mereka mengembalikan berkas perkara kasus Kohod kepada penyidik Bareskrim dengan petunjuk agar penyidikan dilanjutkan ke ranah tindak pidana korupsi. Kejaksaan Agung melihat adanya indikasi penyalahgunaan wewenang dan potensi kerugian keuangan negara serta perekonomian negara akibat penguasaan ruang laut secara melawan hukum. Langkah serupa juga diambil dalam kasus di Bekasi, mengindikasikan kesadaran bahwa kerugian negara dalam kasus ini tidak bisa hanya diukur dari kehilangan keuangan secara formal.

Kerugian Nyata yang Diderita Masyarakat Pesisir

Dampak pembangunan pagar laut ilegal ini sangat dirasakan oleh masyarakat pesisir. Ombudsman Republik Indonesia mencatat bahwa ribuan nelayan terdampak langsung akibat pembatasan akses ke wilayah tangkap mereka. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan mencapai puluhan miliar rupiah. Nelayan kehilangan mata pencaharian, sementara ruang laut yang seharusnya menjadi sumber daya publik justru dikuasai secara eksklusif oleh segelintir pihak.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menjatuhkan sanksi administratif berupa denda kepada perusahaan yang membangun pagar laut ilegal tersebut. Namun, sanksi administratif saja tidak cukup untuk memberikan efek jera dan memulihkan kerugian yang telah diderita masyarakat.

Urgensi Pembaruan Paradigma Penegakan Hukum

Kasus pagar laut ilegal ini menyoroti kelemahan dalam sistem hukum kita yang belum sepenuhnya mengakui dimensi ekologis dan sosial sebagai bagian integral dari perlindungan kepentingan publik. Kerusakan lingkungan dan hilangnya fungsi sosial-ekonomi sumber daya alam seringkali luput dari jangkauan hukum pidana, sehingga pelaku kejahatan lingkungan merasa aman.

Padahal, konstitusi telah mengamanatkan bahwa sumber daya alam, termasuk laut, dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ketika akses masyarakat terhadap laut terganggu, negara mengalami kerugian konstitusional.

Beberapa negara telah mengembangkan pendekatan penilaian terhadap kekayaan alam dan kerugiannya melalui konsep natural capital accounting. Pendekatan ini memungkinkan nilai ekonomi ekosistem dihitung dan dimasukkan dalam perhitungan kerugian negara. Di Indonesia, valuasi lingkungan telah mulai digunakan dalam beberapa kasus perdata untuk menentukan besaran ganti rugi terhadap pelaku pencemaran. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya telah ada celah bagi pengembangan pendekatan ekologis dalam sistem hukum di Indonesia.

Yang dibutuhkan saat ini adalah kemauan politik dan keberanian kelembagaan untuk mendorong agar perusakan sumber daya alam tidak hanya diproses secara administratif, tetapi juga dapat dikenai pidana korupsi jika terbukti merugikan negara dan menguntungkan pihak tertentu secara melawan hukum. Negara tidak boleh abai ketika kekayaan alamnya dirusak dan masyarakat pesisir kehilangan penghidupan. Penegakan hukum yang adil dan progresif akan memberikan pesan kuat bahwa laut adalah milik publik, dan tidak bisa dikuasai secara diam-diam untuk kepentingan kelompok tertentu.

Jika tidak, laut akan terus menjadi arena eksploitasi tanpa kendali, sementara masyarakat yang bergantung padanya akan terus menjadi korban yang tidak terdengar. Kasus pagar laut ilegal di Bekasi dan Tangerang harus menjadi momentum untuk melakukan pembaruan paradigma penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan, sehingga hukum pidana mampu mengenali bentuk-bentuk kerugian negara yang lebih luas dan memberikan perlindungan yang lebih efektif bagi masyarakat dan lingkungan hidup.