Amerika Serikat Ancam Mundur dari Kesepakatan Global Pengurangan Emisi Kapal, Picu Kekhawatiran Iklim

Amerika Serikat Ancam Mundur dari Kesepakatan Global Pengurangan Emisi Kapal, Picu Kekhawatiran Iklim

Amerika Serikat (AS) mengambil langkah kontroversial dengan menarik diri dari perundingan internasional yang krusial di London. Perundingan ini membahas upaya untuk memangkas polusi karbon yang dihasilkan oleh sektor pelayaran global. Keputusan ini menandai kemunduran dalam upaya kolektif untuk memerangi perubahan iklim dan menimbulkan pertanyaan tentang komitmen AS terhadap kerja sama multilateral dalam isu-isu lingkungan.

Lebih lanjut, AS mengancam akan memberlakukan tindakan balasan jika kapal-kapal berbendera Amerika dikenakan biaya tambahan terkait emisi karbon. Ancaman ini disampaikan di tengah perundingan yang diselenggarakan oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO), sebuah badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memiliki mandat untuk mengatur industri pelayaran internasional.

Tujuan utama dari pertemuan IMO ini adalah untuk mencapai kesepakatan yang mengikat secara global dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari kapal-kapal laut hingga mencapai titik nol emisi (net-zero) pada tahun 2050. Salah satu mekanisme utama yang diusulkan untuk mencapai tujuan ambisius ini adalah melalui penerapan pungutan karbon atau semacam pajak atas setiap ton emisi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan oleh kapal-kapal dari berbagai negara.

Namun, AS dengan tegas menolak usulan pungutan karbon tersebut. Dalam sebuah dokumen diplomatik yang disampaikan kepada IMO, pemerintah AS menyatakan bahwa mereka menolak aturan semacam itu karena dianggap berpotensi merugikan kepentingan kapal-kapal AS. Pemerintah AS bahkan mengancam akan mengambil "tindakan timbal balik" jika aturan tersebut diberlakukan dan menyebabkan kapal-kapal Amerika harus membayar biaya tambahan yang signifikan.

Langkah ini semakin memperkuat persepsi bahwa AS semakin menjauh dari upaya kerja sama global dalam mengatasi perubahan iklim. Sebelumnya, AS telah menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris, sebuah kesepakatan penting yang bertujuan untuk membatasi pemanasan global, serta menarik diri dari berbagai lembaga iklim PBB lainnya.

Di sisi lain, lebih dari 50 negara, termasuk negara-negara besar dengan perekonomian maju seperti Jepang, Korea Selatan, Inggris Raya, dan negara-negara anggota Uni Eropa (UE), menyatakan dukungan mereka terhadap usulan untuk mengenakan biaya karbon dengan kisaran antara $18 hingga $150 per ton karbon yang dihasilkan oleh kapal. Usulan ini bertujuan untuk memberikan insentif bagi industri pelayaran untuk beralih ke teknologi dan bahan bakar yang lebih bersih dan ramah lingkungan.

Namun, usulan pungutan karbon ini juga menghadapi penolakan dari beberapa negara besar lainnya, termasuk Cina, Brasil, dan Arab Saudi. Negara-negara ini khawatir bahwa pungutan karbon dapat berdampak negatif terhadap negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada perdagangan laut sebagai tulang punggung perekonomian mereka.

Industri pelayaran memainkan peran yang sangat vital dalam perekonomian global, karena bertanggung jawab atas pengangkutan sekitar 90% dari barang-barang yang diperdagangkan di seluruh dunia. Namun, industri ini juga merupakan sumber emisi GRK yang signifikan karena sebagian besar kapal masih mengandalkan bahan bakar fosil yang kotor dan menghasilkan emisi yang tinggi. Jika industri pelayaran dianggap sebagai sebuah negara, maka ia akan menjadi penghasil emisi terbesar keenam di dunia.

Rencana pemberlakuan pungutan karbon ini diperkirakan akan mencapai titik kulminasi pada hari Jumat dan diharapkan dapat disepakati secara global pada awal tahun 2027, asalkan tidak ada hambatan signifikan yang muncul dalam perundingan. Implementasi pungutan karbon akan menjadi langkah penting dalam upaya untuk mengurangi emisi GRK dari sektor pelayaran dan berkontribusi pada tujuan global untuk mengatasi perubahan iklim.