Batas Penghasilan Rumah Subsidi di Jabodetabek Naik: MBR atau Kelas Menengah yang Diuntungkan?

Batas Penghasilan Rumah Subsidi di Jabodetabek Dinaikkan: Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan?

Kabar terbaru dari Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) mengenai kenaikan batas maksimal penghasilan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk membeli rumah subsidi di wilayah Jabodetabek telah menuai berbagai tanggapan. Menteri PKP Maruarar Sirait mengumumkan bahwa batas penghasilan MBR yang sebelumnya berkisar antara Rp 7 juta hingga Rp 8 juta, kini dinaikkan menjadi Rp 14 juta per bulan. Bagi MBR lajang, batasnya tetap di angka Rp 12 juta.

Keputusan ini, yang disampaikan dalam acara penandatanganan MoU dukungan rumah subsidi untuk buruh, bertujuan untuk memperluas jangkauan program rumah subsidi. Namun, langkah ini memicu perdebatan mengenai definisi MBR dan dampaknya terhadap kelompok masyarakat berpenghasilan lebih rendah.

Reaksi dan Analisis Ekonom

Direktur INDEF, Tauhid Ahmad, mengkritisi kebijakan ini, dengan menyatakan bahwa kenaikan batas penghasilan dapat mengaburkan tujuan utama program subsidi, yaitu membantu masyarakat berpenghasilan rendah. Menurutnya, klasifikasi masyarakat berdasarkan penghasilan bertujuan untuk menentukan prioritas pemberian bantuan sosial. Tauhid berpendapat bahwa masyarakat dengan penghasilan di bawah Rp 8 juta masuk kategori kelas bawah, sementara mereka yang berpenghasilan antara Rp 8 juta hingga Rp 14 juta sudah termasuk kelas menengah.

Tauhid mengkhawatirkan bahwa kenaikan batas penghasilan akan menyebabkan beberapa dampak negatif, di antaranya:

  • Opsi Rumah Subsidi Semakin Sedikit untuk MBR Berpenghasilan Rendah: Pengembang properti cenderung akan lebih fokus pada pasar dengan kemampuan finansial yang lebih baik, yaitu masyarakat dengan penghasilan Rp 8 juta hingga Rp 14 juta, sehingga mengurangi pilihan rumah subsidi bagi MBR berpenghasilan di bawah Rp 7 juta.
  • Persaingan dengan Pembeli Non-Subsidi: Masyarakat berpenghasilan menengah, yang seharusnya mampu membeli rumah dengan KPR non-subsidi, kini memiliki kesempatan untuk bersaing mendapatkan rumah subsidi, sehingga mengurangi kuota untuk MBR yang benar-benar membutuhkan.
  • Preferensi Bank pada Kreditur Berpenghasilan Lebih Tinggi: Bank akan lebih memilih memberikan KPR kepada masyarakat dengan penghasilan lebih tinggi karena kemampuan membayar yang lebih baik dan potensi keuntungan yang lebih besar.

Untuk mengatasi dampak-dampak ini, Tauhid menyarankan agar batas penghasilan MBR dikembalikan ke angka Rp 8 juta per bulan. Jika ingin memberikan peluang bagi kelas menengah, pemerintah dapat memberikan insentif berupa perbedaan suku bunga antara kelompok berpenghasilan rendah dan menengah.

Dukungan dari Pengamat Properti

Berbeda dengan Tauhid, Pengamat Properti Ali Tranghanda dari Indonesia Property Watch (IPW) justru menyambut baik kenaikan batas penghasilan ini. Menurutnya, kebijakan ini akan memberikan kemudahan bagi kelas menengah di perkotaan untuk memiliki rumah.

Ali menambahkan bahwa pemerintah perlu memberikan insentif yang lebih besar kepada MBR dibandingkan dengan kelas menengah agar semua lapisan masyarakat dapat terbantu untuk memiliki rumah. Ia mengusulkan adanya perbedaan suku bunga antara MBR dan kelas menengah untuk mendongkrak daya beli.

Alasan Pemerintah

Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Heru Pudyo Nugroho, menjelaskan bahwa kenaikan batas penghasilan MBR sejalan dengan semakin mahalnya harga hunian di perkotaan, khususnya Jabodetabek. Ia menambahkan bahwa untuk mengatasi backlog perumahan di perkotaan, pembangunan hunian vertikal (apartemen) menjadi solusi. Namun, harga apartemen jauh lebih mahal dibandingkan rumah tapak, sehingga perlu ada penyesuaian batas penghasilan MBR agar mereka mampu membeli hunian vertikal.

Kesimpulan

Kenaikan batas penghasilan MBR untuk rumah subsidi di Jabodetabek merupakan kebijakan yang kompleks dengan berbagai dampak potensial. Meskipun bertujuan untuk memperluas jangkauan program, kebijakan ini juga menuai kritik karena berpotensi mengurangi ketersediaan rumah subsidi bagi MBR berpenghasilan rendah dan memicu persaingan dengan kelas menengah. Perlu ada evaluasi dan penyesuaian lebih lanjut untuk memastikan bahwa program rumah subsidi benar-benar tepat sasaran dan memberikan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan.