KPK Jebloskan Mantan Direktur PGN dan Komisaris IAE ke Rutan Terkait Skandal Korupsi Jual Beli Gas

KPK Jebloskan Mantan Direktur PGN dan Komisaris IAE ke Rutan Terkait Skandal Korupsi Jual Beli Gas

Jakarta, [Tanggal Hari Ini] - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi menahan dua individu yang terjerat dalam pusaran kasus dugaan korupsi terkait transaksi jual beli gas antara PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dan PT Inti Alasindo Energi (IAE) yang terjadi pada periode 2016 hingga 2019. Penahanan dilakukan pada hari Jumat, [Tanggal].

Kedua tersangka yang kini mendekam di Rutan adalah Danny Praditya (DP), yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Komersial PT PGN, dan Iswan Ibrahim (ISW), yang merupakan mantan Komisaris PT IAE.

"KPK melakukan penahanan terhadap Tersangka ISW (Iswan Ibrahim) dan Tersangka DP (Danny Praditya) di Cabang Rumah Tahanan Negara Klas 1 Jakarta Timur. Masa penahanan ini berlaku selama 20 hari, dimulai sejak tanggal 11 April 2025 hingga 30 April 2025," ungkap Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.

Menurut Asep, skandal jual beli gas ini telah menyebabkan kerugian negara yang mencapai angka fantastis, yaitu 15 juta Dolar Amerika Serikat (AS). Jika dikonversikan dengan kurs pada tahun 2017 (Rp 13.559 per dolar AS), kerugian tersebut setara dengan Rp 203,3 miliar.

"Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah merilis Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif yang bertujuan untuk menghitung kerugian negara akibat Transaksi Jual Beli Gas antara PT PGN dan PT IAE pada tahun 2017-2021. Laporan dengan Nomor 56/LHP/XXI/10/2024 tertanggal 15 Oktober 2024 tersebut mengindikasikan kerugian negara sebesar USD 15.000.000," jelasnya.

Kronologi Kasus

Kasus ini bermula pada 19 Desember 2016, ketika Dewan Komisaris dan Direksi PT PGN menyetujui Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) PT PGN tahun 2017. Ironisnya, RKAP tersebut tidak mencantumkan rencana pembelian gas dari PT IAE.

Pada Agustus 2017, Danny Praditya (DP) diduga memberikan instruksi kepada Head of Marketing PT PGN, Adi Munandir (ADI), untuk melakukan presentasi kepada sejumlah trader gas, termasuk PT ISARGAS. Tujuannya adalah untuk menawarkan para trader gas tersebut agar menjadi Local Distributor Company (LDC) PT PGN.

Selanjutnya, Adi Munandir (ADI) menindaklanjuti perintah Danny Praditya (DP) dengan menghubungi S (Sofyan), yang saat itu menjabat sebagai Direktur PT IAE, untuk menjajaki potensi kerjasama dalam pengelolaan gas. Kemudian, Danny Praditya (DP) kembali meminta Adi Munandir (ADI) untuk mengatur pertemuan dengan perwakilan ISARGAS Grup di kantor PT PGN guna membahas kerjasama pengelolaan dan jual beli gas.

Dalam pertemuan tersebut, S (Sofyan), sebagai perwakilan dari ISARGAS Grup, menyampaikan pesan dari Iswan Ibrahim (ISW) yang meminta uang muka (advance payment) sebesar 15 juta Dolar AS terkait rencana pembelian gas PT IAE oleh PT PGN. Namun, uang muka tersebut tidak digunakan untuk membiayai proses jual beli gas, melainkan dialihkan untuk membayar utang PT ISARGAS kepada pihak lain.

"Danny diduga memberikan perintah yang mengusulkan agar PT PGN membayar uang muka sebesar 15 juta Dolar AS kepada PT IAE. Dana tersebut kemudian digunakan untuk melunasi utang PT IAE/ISARGAS Group yang tidak memiliki kaitan dengan pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) antara PT PGN dan PT IAE," beber Asep.

Pada 2 Desember 2020, Kepala BPH Migas, M. Fanshurullah Asa (MFA), mengirimkan surat kepada Kementerian ESDM mengenai Hasil Pengawasan Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi Berfasilitas PT IAE di Waru, Sidoarjo, dan Klarifikasi Pengaliran Gas Bumi dari PT IAE. Dalam surat tersebut, BPH Migas menyatakan bahwa praktik kegiatan usaha niaga gas bumi bertingkat antara PT IAE dan PT PGN tidak diperbolehkan, karena melanggar Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi.

KPK menegaskan bahwa perbuatan kedua tersangka tersebut telah mengakibatkan kerugian keuangan negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.