Indonesia Prioritaskan Pasokan LNG Domestik, Impor dari AS Belum Mendesak

Indonesia Prioritaskan Pasokan LNG Domestik, Impor dari AS Belum Mendesak

Jakarta - Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya untuk memaksimalkan produksi gas alam cair (LNG) dalam negeri guna memenuhi kebutuhan energi nasional. Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, menyampaikan bahwa saat ini belum ada rencana untuk mengimpor LNG dari Amerika Serikat, karena pasokan domestik masih mencukupi. Pernyataan ini sekaligus menepis wacana sebelumnya mengenai potensi impor LNG dari AS sebagai upaya menyeimbangkan neraca perdagangan.

"Untuk tiga bulan pertama tahun ini, kami telah berhasil memastikan ketersediaan LNG di dalam negeri dengan mengoptimalkan produksi dalam negeri," ujar Dadan Kusdiana di Jakarta, seperti dikutip dari Antara pada Jumat (11/4/2025). Meskipun demikian, Dadan mengakui bahwa tantangan dalam menjaga suplai LNG tetap ada, terutama dalam menghadapi potensi peningkatan konsumsi LNG di masa mendatang.

Salah satu isu krusial yang dihadapi pemerintah adalah bagaimana mengoptimalkan ketersediaan LNG domestik sambil tetap menghormati kontrak ekspor yang telah disepakati sebelumnya. "Sebagian LNG kita diekspor, dan itu adalah bagian dari perjanjian kontrak yang telah ada sebelum peningkatan kebutuhan saat ini. Sekarang, konsumsi kita meningkat. Inilah yang sedang kami upayakan solusinya," jelas Dadan.

Pemerintah Indonesia memiliki visi jangka panjang untuk meningkatkan kemandirian energi nasional. Idealnya, Indonesia dapat memproduksi LNG sendiri dan memanfaatkannya untuk kebutuhan dalam negeri. Hal ini sejalan dengan upaya diversifikasi sumber energi dan mengurangi ketergantungan pada impor.

Wacana impor LNG dari Amerika Serikat sebelumnya sempat mencuat sebagai bagian dari upaya menyeimbangkan neraca perdagangan antara kedua negara. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Airlangga Hartarto, sebelumnya mengindikasikan potensi impor LNG dari AS sebagai salah satu solusi.

Data Kementerian Perdagangan RI menunjukkan bahwa pada tahun 2024, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan sebesar 14,34 miliar dollar AS dengan Amerika Serikat. Surplus ini didorong oleh ekspor komoditas seperti mesin dan perlengkapan elektrik, pakaian dan aksesori pakaian, serta alas kaki.

Keinginan untuk menyeimbangkan neraca perdagangan juga dilatarbelakangi oleh kebijakan tarif resiprokal yang sempat diberlakukan oleh Amerika Serikat terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Kebijakan ini sempat menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi dampak negatif pada ekspor Indonesia ke AS.

Pada tanggal 2 April 2025, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokal kepada sejumlah negara, termasuk Indonesia. Indonesia terkena tarif resiprokal 32 persen, sementara negara-negara ASEAN lainnya, Filipina 17 persen, Singapura 10 persen, Malaysia 24 persen, Kamboja 49 persen, Thailand 36 persen, dan Vietnam 46 persen.

Akan tetapi, pada Rabu (9/4/2025) sore waktu AS, Trump telah mengumumkan penundaan selama 90 hari atas tarif resiprokal ke berbagai negara mitra dagang, namun tetap menaikkan bea masuk kepada China sebesar 125 persen. Negara yang rencananya akan dikenakan tarif resiprokal lebih tinggi hanya dikenakan tarif dasar sebesar 10 persen, yang mana untuk baja, aluminium, dan mobil akan sama.

Fokus Pemerintah:

  • Memaksimalkan produksi LNG dalam negeri
  • Memenuhi kebutuhan energi nasional
  • Menghormati kontrak ekspor yang sudah ada
  • Meningkatkan kemandirian energi

Tantangan:

  • Menjaga suplai LNG di tengah peningkatan konsumsi
  • Menyeimbangkan kepentingan domestik dan ekspor

Dengan fokus pada optimalisasi produksi dalam negeri, pemerintah Indonesia berupaya menjaga ketahanan energi dan mengurangi ketergantungan pada impor LNG. Kebijakan ini juga sejalan dengan komitmen untuk mengembangkan sumber energi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.