MUI Seram Barat Hentikan Tarekat Kontroversial: Modifikasi Syahadat dan 'Tiket Surga' Rp 7 Juta
MUI Seram Barat Ambil Tindakan Tegas Terhadap Aliran Tarekat yang Menyimpang
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, telah mengambil langkah tegas dengan menghentikan aktivitas sebuah kelompok tarekat yang terindikasi menyebarkan ajaran sesat dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama Islam. Tindakan ini diambil setelah adanya laporan dari masyarakat dan hasil investigasi yang menunjukkan penyimpangan signifikan dalam praktik keagamaan kelompok tersebut.
Kelompok tarekat yang dipimpin oleh La Bandunga ini, diduga kuat telah melakukan modifikasi terhadap kalimat syahadat, yang merupakan rukun Islam pertama dan fondasi utama keyakinan seorang Muslim. Selain itu, kelompok ini juga mengajarkan bahwa kewajiban-kewajiban fundamental dalam Islam seperti shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, dan pembayaran zakat dapat diabaikan. Lebih jauh lagi, mereka mengklaim memiliki akses langsung ke surga dan menawarkan "tiket" masuk surga dengan harga tertentu, sebuah praktik yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.
Sekretaris MUI Kabupaten Seram Bagian Barat, Syuaib Pattimura, mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan pertemuan dengan para pemimpin tarekat tersebut, dengan mediasi dari pihak kepolisian. Pertemuan ini bertujuan untuk mengklarifikasi ajaran-ajaran yang mereka sebarkan dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk memberikan penjelasan. Namun, hasil pertemuan tersebut justru menguatkan dugaan adanya penyimpangan. Syuaib Pattimura menjelaskan:
"Dari hasil pertemuan di Polres, pemahaman mereka sangat menyimpang dari pokok ajaran Islam."
Modifikasi Kitab Suci dan Penjualan 'Tiket Surga'
Salah satu temuan yang paling mengkhawatirkan adalah adanya kitab panduan yang digunakan oleh kelompok tarekat ini, yang disebut "Perisai Diri". Di dalam kitab ini, ditemukan perubahan-perubahan signifikan pada surat Al Fatihah, surat Al Ikhlas, dan kalimat syahadat. Modifikasi ini dianggap sebagai bentuk penistaan agama dan penghinaan terhadap kitab suci Al-Quran.
Selain itu, praktik penjualan "tiket surga" dengan harga Rp 7 juta per orang, dan Rp 15 juta untuk menebus orang tua agar bisa masuk surga, menjadi sorotan utama. Klaim ini dianggap sebagai bentuk penipuan dan eksploitasi kepercayaan masyarakat. MUI Seram Bagian Barat dengan tegas menolak klaim tersebut dan menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki hak untuk menjamin surga bagi orang lain.
Reaksi Masyarakat dan Tindakan Kepolisian
Sebelum pertemuan dengan MUI, para pemimpin tarekat ini sempat menjadi sasaran amukan warga di Dusun Limboro, Kecamatan Huamual. Warga merasa resah dan marah karena ajaran-ajaran yang mereka sebarkan dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang mereka anut. Kapolsek Huamual, Ipda Salim Balami, menyatakan bahwa pihaknya segera merespons laporan dari masyarakat dan mengamankan para pemimpin tarekat tersebut untuk menghindari tindakan anarkis yang lebih lanjut.
"Warga sangat merasa resah karena ajaran mereka bertentangan, lalu mereka melapor," kata Salim.
Langkah Selanjutnya dan Koordinasi dengan Pihak Terkait
Setelah memastikan adanya penyimpangan dalam ajaran kelompok tarekat ini, MUI Seram Bagian Barat segera mengambil tindakan tegas dengan menghentikan seluruh aktivitas mereka. Para pemimpin tarekat tersebut juga diminta untuk membuat surat pernyataan yang menyatakan larangan beraktivitas di wilayah Seram Bagian Barat. MUI juga berkoordinasi dengan MUI Maluku dan Kementerian Agama untuk menangani masalah ini secara komprehensif.
MUI mengimbau masyarakat untuk selalu berhati-hati dan waspada terhadap ajaran-ajaran agama yang mencurigakan. Masyarakat juga diminta untuk selalu merujuk pada sumber-sumber agama yang terpercaya dan berkonsultasi dengan para ulama yang kompeten dalam memahami ajaran Islam yang benar.
Kelompok tarekat ini sebelumnya pernah beraktivitas di Kota Masohi, Maluku Tengah, pada tahun 2002, namun dihentikan oleh MUI setempat karena dianggap menyimpang. Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat dan pemerintah daerah untuk meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas keagamaan dan mencegah penyebaran ajaran-ajaran sesat yang dapat meresahkan masyarakat.