Industri Nikel Nasional Terancam: Forum Industri Nikel Indonesia Desak Pemerintah Tinjau Ulang Kenaikan Royalti di Tengah Harga Nikel yang Merosot
Industri Nikel Nasional Terancam: Forum Industri Nikel Indonesia Desak Pemerintah Tinjau Ulang Kenaikan Royalti di Tengah Harga Nikel yang Merosot
Jakarta - Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) menyampaikan kekhawatiran mendalam terkait rencana pemerintah untuk menaikkan tarif royalti mineral, khususnya nikel, yang dijadwalkan mulai berlaku pada April 2025. Di tengah kondisi pasar global yang tidak menentu dan harga nikel yang terus merosot, FINI menilai kebijakan ini dapat mengancam keberlangsungan industri nikel nasional yang tengah berjuang untuk pulih.
Ketua Umum FINI, Alexander Barus, menyatakan bahwa rencana kenaikan tarif royalti ini perlu ditinjau kembali secara seksama. Kondisi pasar nikel global saat ini sangat memprihatinkan, dengan penurunan harga yang signifikan akibat kombinasi faktor geopolitik dan perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Kenaikan royalti, menurutnya, akan semakin membebani industri yang sudah tertekan oleh berbagai faktor internal dan eksternal.
Tekanan Ganda: Harga Nikel Anjlok dan Biaya Produksi Meningkat
Industri nikel saat ini menghadapi tekanan ganda. Di satu sisi, harga nikel global terus mengalami penurunan tajam. Dalam sebulan terakhir, harga nikel telah anjlok sebesar 16 persen, dan dalam enam bulan terakhir penurunan mencapai 23 persen, menyentuh level terendah sejak tahun 2020 di angka 13.800 dollar AS per ton. Penurunan ini dipicu oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi global dan ketegangan geopolitik yang mempengaruhi permintaan nikel secara keseluruhan.
Di sisi lain, industri nikel juga dibebani oleh peningkatan biaya produksi akibat berbagai kebijakan domestik, antara lain:
- Kenaikan Upah Minimum Regional (UMR)
- Implementasi penggunaan Bahan Bakar Nabati B40
- Kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang mewajibkan retensi
- Penerapan Global Minimum Tax (GMT) mulai tahun 2025
Kombinasi antara penurunan harga dan peningkatan biaya produksi ini menciptakan tantangan besar bagi pelaku industri nikel. Kenaikan royalti akan semakin memperburuk situasi dan berpotensi menyebabkan penurunan produksi, pengurangan investasi, dan bahkan penutupan perusahaan.
Seruan untuk Kebijakan Adaptif dan Berpihak pada Industri
FINI memahami bahwa pemerintah memiliki pertimbangan fiskal dalam menaikkan royalti. Namun, FINI meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kondisi pasar saat ini dan dampak potensial dari kebijakan tersebut terhadap industri nikel. Penyesuaian kebijakan fiskal, seperti royalti, harus dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan keberlanjutan hilirisasi nikel nasional.
Alexander Barus menegaskan komitmen FINI untuk mendukung visi Presiden Prabowo Subianto dalam memperkuat industrialisasi dan kemandirian ekonomi nasional. Namun, ia juga mengajak pemerintah untuk mengedepankan kebijakan yang adaptif dan berpihak pada keberlanjutan industri strategis Indonesia, seperti industri nikel.
"Kami berkomitmen mendukung visi Presiden Prabowo dalam memperkuat industrialisasi dan kemandirian ekonomi nasional, dan mengajak pemerintah untuk mengedepankan kebijakan yang adaptif dan berpihak pada keberlanjutan industri strategis Indonesia," tegas Alexander.
FINI berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali rencana kenaikan royalti dan mencari solusi yang lebih konstruktif untuk mendukung pertumbuhan dan keberlanjutan industri nikel nasional. Dialog yang terbuka dan konstruktif antara pemerintah dan pelaku industri sangat penting untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan.