Ramadan di Medan: Pengajian Al-Quran Braille, Suatu Kisah Ketabahan dan Kebutuhan akan Dukungan
Ramadan di Medan: Pengajian Al-Quran Braille, Suatu Kisah Ketabahan dan Kebutuhan akan Dukungan
Di tengah hiruk pikuk aktivitas Ramadan di Medan, sebuah pemandangan mengharukan tersaji di Aula Rumah Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Sumut. Di tempat itu, puluhan penyandang tunanetra mengikuti pengajian Al-Quran Braille dengan khusyuk. Suara lantunan ayat suci mengalun merdu, membangkitkan suasana spiritual yang mendalam. Salah seorang peserta, Refnita (45), dengan jemari terampilnya membacakan ayat-ayat suci, sesekali mengulang bacaan sesuai koreksi dari gurunya. Suasana ini menjadi gambaran nyata dari ketabahan dan semangat belajar yang tinggi di tengah keterbatasan fisik.
Refnita, yang telah mengikuti pengajian rutin ini selama bertahun-tahun, mengungkapkan ketenangan hati yang diperolehnya melalui kegiatan tersebut. “Kami mengaji secara bergilir dan rutin. Ikut pengajian membuat hati tenang dan bisa bertemu dengan teman-teman. Semoga Ramadan ini kita jadi lebih baik lagi,” ujarnya sambil tersenyum. Pengajian yang dilaksanakan setiap Kamis pukul 10.00-12.00 WIB ini bukan sekadar kegiatan keagamaan, tetapi juga menjadi wadah silaturahmi dan dukungan sosial antar sesama penyandang tunanetra. Para peserta, yang dikelompokkan berdasarkan kemampuan masing-masing, saling berbagi semangat dan pengalaman dalam mempelajari Al-Quran Braille. Namun, di balik keindahan dan kedamaian suasana pengajian, terdapat tantangan yang perlu diperhatikan.
Salah satu tantangan terbesar adalah kondisi Al-Quran Braille itu sendiri. Refnita menjelaskan bahwa huruf-huruf timbul pada Al-Quran Braille rentan rusak karena sering disentuh. “Karena Al-Qurannya timbul seperti ini, kadang ada yang terhapus, tidak jelas, di situ kesulitan kita,” jelasnya. Hal senada diungkapkan Ketua DPD Pertuni Sumut, Syaiful Bakti Daulay. Ia menyebutkan bahwa keterbatasan jumlah Al-Quran Braille yang layak pakai menjadi kendala utama. Al-Quran Braille, yang didapat dari donasi beberapa dermawan, memiliki usia pakai yang relatif singkat. “Kita memang masih butuh karena Al-Quran Braille ini tidak bisa bertahan lama, kadang tulisannya terhapus karena tiap hari diraba, bertahan 1 tahun saja sudah lumayan,” ungkap Syaiful.
Oleh karena itu, Pertuni Sumut tetap membuka pintu bagi masyarakat yang ingin berpartisipasi melalui donasi Al-Quran Braille maupun bantuan lainnya. Donasi tersebut akan sangat membantu para penyandang tunanetra untuk dapat terus mengkaji dan mendalami Al-Quran, sekaligus menjaga kelancaran pengajian rutin selama Ramadan dan seterusnya. Keberadaan pengajian Al-Quran Braille ini tidak hanya mencerminkan semangat belajar yang tinggi di tengah keterbatasan, tetapi juga menjadi pengingat pentingnya kepedulian dan dukungan masyarakat terhadap penyandang tunanetra. Semoga kisah ini dapat menginspirasi lebih banyak pihak untuk turut serta memberikan kontribusi positif bagi sesama.