Lonjakan Pelaporan SPT: Sebuah Analisis Kritis Terhadap Kepatuhan Pajak di Indonesia
Lonjakan Pelaporan SPT: Sebuah Analisis Kritis Terhadap Kepatuhan Pajak di Indonesia
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat peningkatan signifikan dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan sejak awal tahun 2025. Hingga 19 Februari, lebih dari 4,4 juta wajib pajak telah memenuhi kewajiban pelaporan mereka. Angka ini, meskipun tampak menggembirakan, perlu dikaji lebih dalam untuk menentukan apakah peningkatan ini mencerminkan peningkatan kesadaran pajak atau hanya sekadar kepatuhan semu yang didorong oleh faktor-faktor eksternal seperti peningkatan pengawasan dan sanksi.
Data yang dirilis DJP menunjukkan sebuah paradoks. Meskipun jumlah pelaporan meningkat drastis, survei bersama DJP dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengungkap fakta bahwa 70% wajib pajak masih belum sepenuhnya memahami sistem perpajakan. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi utama di balik peningkatan pelaporan SPT kemungkinan besar adalah menghindari sanksi administratif, bukan karena pemahaman yang mendalam akan kewajiban perpajakan. Temuan ini sejalan dengan data Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang menunjukkan rendahnya literasi pajak di Indonesia dibandingkan negara-negara maju. Rendahnya literasi pajak ini menunjukkan bahwa kepatuhan yang ada lebih didorong oleh rasa takut daripada kesadaran.
Lebih lanjut, ketidakpercayaan publik terhadap institusi perpajakan memperkuat hipotesis kepatuhan semu ini. Model Slippery Slope (Kirchler et al., 2008) menekankan peran penting dari penegakan hukum (enforcement) dan kepercayaan publik terhadap otoritas pajak dalam mendorong kepatuhan. Di Indonesia, berbagai kasus korupsi di lingkungan DJP dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan pajak telah mengikis kepercayaan publik. Akibatnya, kepatuhan yang tercipta lebih bersifat reaktif dan terpaksa, bukan proaktif dan kesadaran.
Pemerintah berupaya meningkatkan kepatuhan pajak melalui implementasi Core Tax Administration System (CTAS) sejak Januari 2025. Sistem digitalisasi ini diharapkan mampu meningkatkan transparansi dan efisiensi. Namun, realitanya, CTAS justru menimbulkan berbagai kendala teknis yang justru mempersulit proses pelaporan. Gangguan akses, ketidak sinkronan data, dan keterlambatan pemrosesan laporan SPT menjadi beberapa masalah yang dihadapi wajib pajak. Alih-alih mempermudah, CTAS malah menambah beban administrasi dan memperburuk pengalaman pengguna.
Perbandingan dengan negara-negara lain yang sukses dalam digitalisasi pajak, seperti Swedia, Jepang, dan Estonia, menunjukkan pendekatan yang berbeda. Negara-negara tersebut menerapkan pendekatan bertahap, dengan uji coba yang matang, edukasi pengguna yang intensif, dan transparansi yang tinggi. Sebaliknya, Indonesia menerapkan CTAS dengan pendekatan big bang, yang mengakibatkan resistensi dan kesulitan bagi wajib pajak.
Untuk membangun kepatuhan pajak yang berkelanjutan dan berbasis kesadaran, Indonesia perlu mengadopsi beberapa praktik terbaik internasional. Beberapa contohnya adalah integrasi edukasi pajak ke dalam kurikulum sekolah (Jepang), transparansi dalam penggunaan pajak (Swedia), digitalisasi berbasis blockchain (Estonia), kampanye kesadaran pajak dan layanan konsultasi gratis (Amerika Serikat), serta penegakan hukum yang tegas namun adil (Jerman).
Langkah-langkah konkret yang perlu diambil antara lain: peningkatan transparansi pengelolaan pajak, optimalisasi edukasi pajak untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan kewajiban perpajakan, dan penyempurnaan sistem digitalisasi agar benar-benar mempermudah wajib pajak. Tanpa perbaikan ketiga aspek tersebut, CTAS dan kebijakan digitalisasi lainnya hanya akan menjadi alat kontrol administratif yang tidak efektif meningkatkan kesadaran pajak. Kesimpulannya, peningkatan pelaporan SPT perlu diinterpretasikan secara kritis. Apakah ini sebuah tren positif atau hanya kepatuhan semu? Hanya dengan membangun kepercayaan publik dan meningkatkan kesadaran pajak, Indonesia dapat mencapai kepatuhan pajak yang berkelanjutan dan bermakna.