Tarif Impor AS: Ancaman Neoimperialisme dan Krisis Demokrasi Global

Dampak Kebijakan Tarif Impor AS: Analisis Mendalam dari Perspektif Indonesia

Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah memicu kekhawatiran global, termasuk di Indonesia. Kebijakan ini, yang sering dinarasikan sebagai upaya untuk melindungi ekonomi domestik AS, justru dipandang sebagai manifestasi dari neoimperialisme dan berpotensi mengancam stabilitas demokrasi global.

Neoimperialisme dalam Kebijakan Ekonomi

Menurut Sukidi Mulyadi, seorang pemikir kebhinekaan yang lama tinggal di AS, kebijakan tarif impor yang diterapkan Trump mencerminkan watak kepemimpinan otoriter yang dibungkus populisme. Kenaikan tarif impor, yang diklaim sebagai bentuk keberpihakan terhadap pelaku ekonomi Amerika, dianggap sebagai populisme palsu atau fraudulent populism. Sukidi berpendapat bahwa Trump sedang menghidupkan kembali neoimperialisme, dengan visi untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ia adalah pemimpin yang dominan dan semua negara harus datang kepadanya untuk bernegosiasi.

Kebijakan ini berdampak signifikan pada perekonomian global, termasuk Indonesia. Meskipun implementasinya sempat ditunda, tarif impor ke AS untuk Indonesia telah ditetapkan sebesar 32 persen. Hal ini berpotensi meningkatkan harga produk ekspor Indonesia di AS, yang pada gilirannya dapat menurunkan permintaan konsumen dan melemahkan usaha di dalam negeri. Selain itu, kebijakan ini dapat memperburuk masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia, yang sudah menjadi tantangan serius.

Krisis Demokrasi dan Tantangan Internal

Sukidi juga menyoroti bahwa tantangan terburuk bagi Indonesia tidak hanya datang dari faktor eksternal, tetapi juga dari masalah internal, terutama korupsi. Ia menganggap korupsi sebagai "pembunuh utama ekonomi bangsa" dan mendesak agar negara dikembalikan fungsinya untuk melayani rakyat, bukan untuk melakukan tindakan yang merugikan.

Imaduddin Abdullah, Direktur Kolaborasi Internasional Indef, menambahkan bahwa kegagalan demokrasi juga menjadi ancaman serius. Demokrasi prosedural dapat melahirkan pemimpin seperti Trump yang kemudian merusak prinsip-prinsip demokrasi demi kekuasaan. Partai politik dianggap gagal menjadi filter bagi tokoh-tokoh yang memiliki pandangan anti-demokrasi.

Buku How Democracies Die karya David Ziblatt dan Steven Levitsky menjelaskan bahwa kematian demokrasi di abad ke-21 tidak lagi terjadi melalui kudeta militer, tetapi melalui proses lambat dan legal yang dilakukan oleh pemimpin yang terpilih secara demokratis. Mereka menekankan pentingnya dua norma pelindung demokrasi: mutual toleration (pengakuan hak lawan politik untuk eksis dan bersaing) dan institutional forbearance (kesediaan untuk tidak menggunakan seluruh kekuasaan hukum demi menjaga keseimbangan kekuasaan). Ketika elite politik kehilangan kedua norma ini, demokrasi mulai retak.

Strategi dan Respons Indonesia

Dalam menghadapi tantangan ini, Indonesia perlu merumuskan langkah-langkah strategis dan taktis yang komprehensif. Selain merespons dampak langsung dari kebijakan tarif impor, Indonesia juga perlu memiliki visi jangka panjang dan memperbaiki tata kelola internal. Pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah: Akankah Indonesia bersuara dalam forum global, atau hanya menyesuaikan diri dengan arah angin dalam politik global? Sejarah tidak akan berpihak pada yang diam.

Kesimpulan

Kebijakan tarif impor AS yang diterapkan oleh Trump bukan sekadar kebijakan ekonomi, tetapi juga instrumen politik populis yang memperdalam polarisasi domestik, melemahkan lembaga dan norma demokrasi, serta menyebarkan ketidakpercayaan terhadap sistem demokrasi global. Indonesia menghadapi tantangan besar untuk menjaga kepentingan nasional tanpa terjebak dalam tarik-menarik kekuatan besar. Upaya perbaikan tata kelola internal dan partisipasi aktif dalam forum global menjadi kunci untuk menghadapi tantangan ini.