Masjid Rahmat Kembang Kuning: Jejak Dakwah Sunan Ampel di Surabaya
Masjid Rahmat Kembang Kuning: Jejak Dakwah Sunan Ampel di Surabaya
Masjid Rahmat Kembang Kuning, sebuah situs bersejarah di Kota Surabaya, menyimpan kisah panjang perjalanan dakwah Islam di Jawa Timur. Lebih dari sekadar tempat ibadah, masjid ini merupakan saksi bisu perjalanan Sunan Ampel, salah satu Wali Songo, yang menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa pada abad ke-14. Berdiri kokoh di Jalan Kembang Kuning, masjid ini telah menjadi pusat kegiatan keagamaan dan rujukan waktu salat bagi masjid-masjid di Surabaya dan sekitarnya selama berabad-abad.
Menurut penuturan Mustar Bakhri dari Takmir Masjid Rahmat, asal-usul masjid ini bermula dari sebuah langgar sederhana yang dibangun oleh Sunan Ampel – yang kala itu masih bernama Raden Rahmat – selama perjalanan dakwahnya dari istana Majapahit menuju Ampel Denta. Singgah di sebuah desa yang kala itu masih berupa hutan lebat di sekitar Kembang Kuning, Sunan Ampel, bersama dengan tokoh setempat bernama Ki Wiroseryo (atau Mbah Karimah), mendirikan sebuah langgar kecil yang disebut Langgar Tiban. Nama “Tibah” yang berarti “tiba-tiba” dipilih karena pembangunannya dilakukan secara spontan dan sederhana, dengan atap cungkup dari alang-alang dan lantai dari batu bata. Langgar ini menjadi titik awal penyebaran Islam di wilayah tersebut, menarik minat penduduk setempat untuk memeluk agama baru ini.
Perkembangan Langgar Tiban menjadi Masjid Rahmat yang kita kenal saat ini terjadi secara bertahap. Proses pemugaran pertama dimulai sekitar tahun 1950 dan diresmikan pada tahun 1967. Perubahan signifikan terlihat pada struktur bangunan yang kini memiliki luas 1.500 meter persegi dengan arsitektur yang anggun dan dominasi warna putih. Nama “Masjid Rahmat” sendiri diambil untuk menghormati nama asli Sunan Ampel, Raden Sayyid Ali Rahmatullah, sebagai pengakuan atas perannya dalam mendirikan bangunan tersebut.
Meski telah mengalami renovasi, Masjid Rahmat Kembang Kuning masih menyimpan beberapa artefak bersejarah yang menjadi bukti nyata perjalanan panjangnya. Relief Langgar Tiban di samping ruang khatib misalnya, menggambarkan wujud awal masjid ini dan mengingatkan kita pada masa Sunan Ampel berkhalwat di sana. Sumur tua di belakang masjid, yang airnya tak pernah kering hingga kini, juga menjadi bukti ketahanan dan keajaiban alam yang menyertai keberadaan masjid ini. Lima lengkungan pada bangunan masjid memiliki makna simbolis, yaitu mewakili rukun Islam yang menjadi dasar ajaran agama tersebut. Bahkan hingga saat ini, masjid tersebut berperan penting sebagai pemberi waktu salat bagi masjid-masjid lain di Surabaya, Lamongan, Tuban, Pasuruan, dan Bangkalan melalui siaran radio internal masjid.
Tidak hanya sebagai tempat ibadah, Masjid Rahmat Kembang Kuning juga menjadi pusat kegiatan keagamaan di bulan Ramadhan. Berbagai kegiatan seperti pengajian, berbagi takjil dan buka puasa bersama, qiyamullail, dan sahur bersama rutin digelar untuk mempererat tali silaturahmi dan memperkaya nuansa spiritual bagi jamaah. Keberadaan Masjid Rahmat Kembang Kuning bukan hanya sekedar bangunan tua, namun juga representasi nilai sejarah, budaya, dan keagamaan yang kaya dan perlu dilestarikan bagi generasi penerus.