Ledakan Animasi 'Jumbo' dan Urgensi Perlindungan Hak Cipta Digital di Era Kecerdasan Buatan

Kesuksesan 'Jumbo' dan Tantangan Perlindungan Karya Digital di Era AI

Kesuksesan film animasi 'Jumbo' yang memecahkan rekor dengan 1,6 juta penonton dalam sembilan hari, menjadi bukti nyata potensi besar industri kreatif digital Indonesia. Namun, keberhasilan ini juga memunculkan pertanyaan mendasar: bagaimana kita melindungi para kreator dari ancaman penyalahgunaan karya di era kecerdasan buatan (AI)?

Ledakan popularitas 'Jumbo' tidak hanya membanggakan, tetapi juga menggarisbawahi pentingnya ekosistem yang mendukung pertumbuhan industri animasi dan konten digital secara keseluruhan. Salah satu aspek krusial adalah perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Digital atau Digital IP. Kasus "Ghibli-fication," di mana gaya visual Studio Ghibli ditiru secara massal oleh AI tanpa izin, menjadi peringatan keras. Hal ini menunjukkan bagaimana karya seni dapat dieksploitasi tanpa kompensasi yang layak, memicu protes dari seniman dan studio.

Perlindungan Hukum yang Adaptif

Fenomena ini menyoroti kebutuhan mendesak akan kerangka hukum yang adaptif. Tanpa perlindungan yang jelas, kreator berisiko kehilangan kendali atas karya mereka, terutama dalam konteks AI. AI yang dilatih dengan karya tanpa izin tidak hanya melanggar hak cipta, tetapi juga menciptakan ketidakseimbangan antara nilai teknologi dan kreativitas manusia.

Perlindungan Digital IP yang kuat bukan hanya masalah hukum, tetapi juga tentang membangun ekosistem yang adil, mendorong inovasi, dan menjaga kedaulatan budaya digital. Indonesia perlu belajar dari pengalaman industri media yang terlambat merespons dominasi platform digital. Kehadiran Perpres Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas adalah langkah positif, tetapi pencegahan lebih baik daripada pengobatan.

Regulasi dan Kolaborasi Manusia-Mesin

Ketiadaan regulasi khusus mengenai penggunaan karya berhak cipta sebagai data latih AI di Indonesia, dapat menjadikan karya-karya visual, suara, dan tulisan sebagai 'bahan bakar gratis' bagi AI generatif. Situasi ini semakin rumit ketika mempertimbangkan status hukum karya kolaborasi antara manusia dan mesin. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Uni Eropa telah mengambil langkah-langkah untuk menyusun regulasi yang relevan.

Amerika Serikat, misalnya, tidak mengakui hak cipta atas karya yang sepenuhnya dihasilkan oleh AI, tetapi memberikan perlindungan jika ada kontribusi kreatif manusia yang signifikan. Tiongkok mengambil pendekatan yang lebih fleksibel dengan mengakui hak cipta atas karya AI yang melibatkan peran manusia dalam penyusunan parameter atau proses penyuntingan.

Langkah Konkret untuk Kreator dan Negara

Regulasi yang responsif terhadap kolaborasi manusia dan mesin sangat penting untuk pertumbuhan ekosistem kreatif digital yang berkelanjutan di Indonesia. Langkah konkret diperlukan dari dua sisi:

  • Kreator:
    • Pengakuan atas penggunaan karya sebagai data latih AI.
    • Royalti melalui skema lisensi kolektif.
    • Pengakuan hukum atas kolaborasi dengan AI.
  • Negara:
    • Mekanisme opt-in atau opt-out untuk penggunaan karya dalam pelatihan AI.
    • Batasan komersialisasi gaya artistik tertentu.
    • Sistem watermark yang transparan untuk menandai karya AI.

Tanpa perlindungan yang memadai, kita berisiko kehilangan hak atas karya-karya kreatif. Jika kita ingin 'Jumbo' menjadi simbol keberhasilan yang berkelanjutan, negara harus memastikan bahwa kreativitas manusia tetap dihargai di tengah kemajuan teknologi. Hal ini diungkapkan oleh Tuhu Nugraha, Digital Business & Metaverse Expert dan Principal Indonesia Applied Digital Economy & Regulatory Network (IADERN).