Dampak Ganda Kecerdasan Buatan: Antara Solusi Krisis Iklim dan Ancaman Emisi

Dilema AI: Menyelamatkan Bumi atau Memperparah Pemanasan Global?

Kecerdasan Buatan (AI) telah merasuk ke berbagai aspek kehidupan modern, dari kreasi konten hingga analisis data kompleks. Di tengah urgensi penanganan krisis iklim, AI menawarkan potensi solusi inovatif. Namun, di balik manfaatnya, tersembunyi kekhawatiran mengenai jejak karbon yang dihasilkan oleh operasional AI.

Potensi AI dalam Mitigasi Krisis Iklim

Universitas Cambridge memanfaatkan AI untuk pemodelan iklim dan perencanaan tata ruang yang lebih efektif. Sementara itu, Universitas Oxford mengembangkan AI untuk meningkatkan transparansi aksi lingkungan perusahaan. Bahkan, Google mengklaim bahwa AI dapat meningkatkan ketahanan iklim.

AI memiliki potensi besar dalam transisi energi bersih:

  • Manajemen jaringan yang lebih cerdas: AI dapat mengoptimalkan distribusi energi, mengurangi pemborosan, dan meningkatkan efisiensi.
  • Pengurangan biaya teknologi rendah karbon: AI dapat mempercepat pengembangan dan penerapan teknologi energi terbarukan.
  • Integrasi energi terbarukan: AI dapat membantu mengelola fluktuasi energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin, memastikan pasokan yang stabil.

Ancaman Emisi dari Operasional AI

Badan Energi Internasional (IEA) melaporkan bahwa AI menyebabkan lonjakan permintaan listrik. Pusat data, sebagai fondasi sistem AI, diproyeksikan menggandakan konsumsi energinya dalam lima tahun mendatang. Pada tahun 2030, permintaan listrik pusat data diperkirakan mencapai 945 terawatt jam (TWh), melampaui total konsumsi listrik Jepang.

Konsumsi Energi yang Tinggi

Pelatihan model AI seperti ChatGPT membutuhkan daya yang sangat besar. Satu sesi pelatihan dapat menghabiskan 1.287 megawatt jam (MWh) listrik, menghasilkan emisi karbon dioksida setara dengan 80 penerbangan jarak pendek di Eropa. Noman Bashir dari MIT menjelaskan bahwa klaster pelatihan AI generatif mengonsumsi energi tujuh hingga delapan kali lebih banyak daripada beban kerja komputasi biasa. Penggunaan AI untuk video, gambar, dan audio juga meningkatkan konsumsi energi.

Pusat Data: Sumber Emisi yang Terus Bertambah

Pusat data tersebar di seluruh dunia, dengan konsentrasi terbesar di Amerika Serikat (40% pasar global). Negara-negara lain dengan kehadiran pusat data yang signifikan termasuk Inggris, Jerman, India, Australia, Prancis, dan Belanda. Pada tahun 2023, pusat data untuk AI menyumbang sekitar 1,5% dari total konsumsi listrik global, dan angka ini diperkirakan akan terus meningkat.

Perdebatan: Solusi atau Masalah?

IEA berpendapat bahwa kekhawatiran tentang AI yang memperparah krisis iklim mungkin berlebihan. Meskipun konsumsi energi AI meningkat, pusat data diperkirakan hanya menyumbang 1,5% dari total emisi global. Lebih lanjut, adopsi AI yang meluas dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi emisi di sektor lain. IEA memperkirakan bahwa penerapan AI yang lebih luas dapat mengurangi emisi hingga 5% pada tahun 2035, mengimbangi peningkatan emisi dari pusat data.

Namun, laporan IEA juga mengingatkan bahwa tidak ada jaminan bahwa aplikasi AI akan diadopsi secara luas. Selain itu, pengurangan emisi di masa depan tidak dapat menghapus dampak emisi yang telah dihasilkan oleh operasional AI.

Kesimpulan

AI menawarkan potensi besar untuk mengatasi krisis iklim, tetapi juga menimbulkan tantangan terkait konsumsi energi dan emisi. Penerapan AI yang bijaksana dan berkelanjutan sangat penting untuk memastikan bahwa teknologi ini menjadi bagian dari solusi, bukan masalah. Diperlukan inovasi dalam efisiensi energi pusat data, pengembangan sumber energi terbarukan, dan kebijakan yang mendorong adopsi AI yang bertanggung jawab.

Laporan IEA menyimpulkan bahwa aplikasi AI yang ada secara luas dapat menghasilkan pengurangan emisi yang jauh lebih besar daripada emisi dari pusat data, tetapi juga jauh lebih kecil daripada yang dibutuhkan untuk mengatasi perubahan iklim. Dengan demikian, penting untuk menyeimbangkan potensi manfaat AI dengan risiko lingkungan yang terkait.