Polemik Dokter Anestesi di Maumere: Gubernur NTT Ancam Cabut SIP, Dokter Ungkap Fakta Sebenarnya

Polemik di RSUD Maumere: Dokter Anestesi Angkat Bicara Terkait Ancaman Pencabutan SIP

Maumere, Sikka - Pernyataan keras Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Melkiades Laka Lena, terkait ancaman pencabutan Surat Izin Praktik (SIP) terhadap dua mantan dokter anestesi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tc. Hillers Maumere, memicu reaksi keras dari salah satu dokter yang bersangkutan, Remidazon Rudolfus Riba. Polemik ini berawal dari tudingan Gubernur Laka Lena bahwa kedua dokter spesialis anestesi, Remidazon dan Evi, tidak memberikan pelayanan maksimal di RSUD Tc. Hillers, bahkan menuding permintaan tunjangan yang tinggi menjadi penyebabnya. Tuduhan ini muncul setelah adanya laporan kasus kematian pasien di rumah sakit tersebut.

Remidazon dengan tegas membantah tudingan tersebut dan menjelaskan bahwa kewenangan penerbitan SIP berada di tangan Dinas Kesehatan, berdasarkan Surat Tanda Registrasi (STR) yang dimilikinya. Ia juga menegaskan bahwa dirinya tidak lagi berstatus sebagai pegawai RSUD Tc. Hillers sejak 31 Desember 2024, sehingga tidak memiliki kaitan dengan peristiwa kematian ibu hamil yang terjadi pada 9 April 2025.

Klarifikasi Dokter Remidazon

Berikut poin-poin klarifikasi yang disampaikan oleh Dokter Remidazon:

  • Kewenangan SIP: Penerbitan SIP adalah kewenangan Dinas Kesehatan berdasarkan STR yang dimilikinya. Ia memiliki tiga STR yang memungkinkannya untuk bekerja di tiga tempat berbeda.
  • Bukan Pegawai RSUD: Sejak 31 Desember 2024, ia dan Dokter Evi sudah tidak lagi bekerja di RSUD Tc. Hillers.
  • Laporan ke Kemenkes: Pihak rumah sakit sempat melaporkan keduanya ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes) agar STR mereka dicabut. Namun, setelah melalui proses persidangan oleh Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), tidak ditemukan pelanggaran Standar Operasional Prosedur (SOP) berat yang dilakukan oleh keduanya. Sehingga, SIP dan STR mereka tetap aman.
  • Keputusan Kemenkes: Pada 17 Maret 2025, Kemenkes memutuskan bahwa keduanya boleh bekerja di rumah sakit lain.
  • Tunggakan Pengabdian: Remidazon mengakui masih memiliki tunggakan pengabdian selama dua tahun di NTT, karena ia dibiayai oleh Kemenkes untuk mengambil spesialis anestesi. Namun, ia menegaskan bahwa pengabdian tersebut tidak harus dilakukan di RSUD Tc. Hillers.
  • Dokter Evi: Dokter Evi bahkan telah mengabdi lebih dari enam tahun, melebihi masa wajib pengabdian selama lima tahun.

Remidazon dan Evi merasa heran mengapa nama mereka dikaitkan dengan kasus kematian ibu hamil yang terjadi baru-baru ini, padahal mereka sudah tidak lagi bertugas di RSUD Tc. Hillers. Kasus ini semakin rumit dan perlu adanya investigasi lebih lanjut untuk mengungkap fakta yang sebenarnya. Masyarakat berharap agar permasalahan ini dapat segera diselesaikan secara adil dan transparan, sehingga tidak merugikan pihak manapun, terutama pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan.

Implikasi dan Harapan

Kasus ini menyoroti pentingnya komunikasi yang efektif dan transparansi dalam pengelolaan rumah sakit dan pelayanan kesehatan. Pemerintah daerah dan pihak rumah sakit perlu menjalin komunikasi yang baik dengan para tenaga medis, serta mencari solusi yang saling menguntungkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

Diharapkan, polemik ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak terkait untuk lebih berhati-hati dalam memberikan pernyataan dan mengambil keputusan, serta mengutamakan kepentingan pasien dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di NTT.