Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Dicokok Kejagung Terkait Suap Kasus Ekspor CPO

Ketua PN Jaksel Jadi Tersangka Suap Ekspor CPO dan Langsung Ditahan

Kejaksaan Agung (Kejagung) bergerak cepat dalam menindaklanjuti dugaan praktik suap dalam penanganan perkara ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, langsung ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Selain Arif, tiga tersangka lain juga turut diamankan, yaitu Panitera Muda Perdata Jakarta Utara berinisial WG, Kuasa Hukum Korporasi Marcella Santoso (MS), dan seorang advokat berinisial AR. Penahanan ini dilakukan pada hari Sabtu, 12 April 2025, dan akan berlangsung selama 20 hari ke depan.

Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa penahanan dilakukan di tiga rumah tahanan (rutan) yang berbeda. Arif dan MS ditahan di Rutan Salemba cabang Kejagung, AR di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, sementara WG mendekam di Rutan Kelas I Jakarta Timur cabang Rutan KPK. Tindakan tegas ini menunjukkan komitmen Kejagung dalam memberantas praktik korupsi yang merugikan negara dan masyarakat.

Kronologi Dugaan Suap dan Peran Para Tersangka

Kasus ini bermula dari dugaan pemberian fasilitas ekspor CPO yang melibatkan tiga perusahaan besar, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Arif diduga menerima suap sebesar Rp 60 miliar dari MS dan AR. Uang tersebut disinyalir digunakan untuk memengaruhi putusan perkara agar ketiga korporasi tersebut dinyatakan tidak bersalah (ontslag). Penyerahan uang suap dilakukan melalui WG, yang disebut-sebut sebagai orang kepercayaan Arif.

Para tersangka dijerat dengan pasal-pasal terkait tindak pidana korupsi, suap, dan gratifikasi. WG disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 12 huruf b jo. Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 11 jo. Pasal 12 huruf b jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. MS dan AR disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a jo. Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 13 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara Arif dijerat dengan Pasal 12 huruf c jo. Pasal 12 huruf b jo. Pasal 6 ayat (2) jo. Pasal 12 huruf a jo. Pasal 12 huruf b jo. Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 11 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kontroversi Putusan Bebas untuk Tiga Korporasi

Sebelumnya, pada 19 Maret 2025, tiga korporasi yang terlibat dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO periode Januari 2021 hingga Maret 2022, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group, dibebaskan dari semua tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Putusan ini menuai kontroversi karena majelis hakim mengakui bahwa para terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, namun menyatakan bahwa perbuatan tersebut bukanlah tindak pidana (ontslag).

Dalam tuntutannya, JPU meminta agar para terdakwa membayar denda dan uang pengganti dalam jumlah yang sangat besar. Berikut rincian tuntutan JPU:

  • PT Wilmar Group: Denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 11.880.351.802.619. Jika tidak dibayar, harta Direktur Tenang Parulian dapat disita dan dilelang, atau diganti dengan pidana penjara 19 tahun.
  • Permata Hijau Group: Denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 937.558.181.691,26. Jika tidak dibayar, harta David Virgo dapat disita dan dilelang, atau diganti dengan pidana penjara 12 bulan.
  • Musim Mas Group: Denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 4.890.938.943.794,1. Jika tidak dibayar, harta Gunawan Siregar dan pihak terkait dapat disita dan dilelang, atau diganti dengan pidana penjara 15 tahun bagi personel pengendali.

Para terdakwa diyakini melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Penahanan Ketua PN Jaksel dan tersangka lainnya ini diharapkan dapat membuka tabir praktik korupsi yang lebih luas dalam kasus ekspor CPO dan memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan korupsi di Indonesia.