Upaya Diplomasi Redam Ketegangan: Turkiye dan Israel Intensifkan Dialog di Tengah Dinamika Suriah

Dialog Tingkat Tinggi Digelar untuk Mencegah Eskalasi Konflik

Turkiye dan Israel dilaporkan telah meningkatkan komunikasi bilateral, khususnya di bidang militer, sebagai upaya proaktif untuk mencegah potensi bentrokan yang tidak diinginkan di wilayah Suriah. Langkah ini diambil di tengah meningkatnya aktivitas militer kedua negara dan persaingan pengaruh yang semakin nyata pasca-runtuhnya rezim Bashar Al-Assad. Pertemuan penting antara pejabat pertahanan dan keamanan kedua negara difasilitasi di Azerbaijan pada hari Rabu, 9 April 2025, menandai intensifikasi upaya diplomatik.

Kementerian Pertahanan Turkiye mengkonfirmasi bahwa tujuan utama dari dialog ini adalah untuk merumuskan solusi konkret yang dapat meminimalisir risiko insiden yang tidak diinginkan di Suriah. Sementara itu, kantor Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengeluarkan pernyataan yang menggarisbawahi komitmen kedua belah pihak untuk menjaga jalur komunikasi tetap terbuka dan melanjutkan dialog secara konstruktif.

Latar Belakang Ketegangan: Transisi Politik Suriah dan Perebutan Pengaruh

Eskalasi ketegangan terjadi seiring dengan transisi politik yang tengah berlangsung di Suriah. Pertemuan ini dilakukan menjelang kunjungan kenegaraan Presiden Suriah yang baru, Ahmed Al-Sharaa, ke Ankara pada hari Jumat, 11 April 2025. Al-Sharaa, yang memimpin koalisi pemberontak yang didukung oleh Turkiye, berhasil menggulingkan rezim Bashar Al-Assad pada Desember tahun sebelumnya. Kejatuhan Assad menciptakan kekosongan kekuasaan yang dimanfaatkan oleh Turkiye dan Israel untuk memperluas pengaruh mereka.

Penarikan sekutu-sekutu Assad, seperti Rusia dan Iran, semakin memperburuk situasi, menjadikan Suriah sebagai arena persaingan geopolitik yang kompleks. Turkiye, yang telah lama menempatkan pasukannya di wilayah utara Suriah, berupaya mendukung kelompok oposisi dan memerangi milisi Kurdi yang dianggap sebagai ancaman keamanan nasional. Selain itu, Turkiye juga menawarkan bantuan pelatihan militer dan modernisasi infrastruktur udara di Suriah, meskipun belum ada konfirmasi resmi dari pemerintahan Al-Sharaa mengenai penerimaan tawaran tersebut.

Di sisi lain, Israel secara bertahap memperluas kehadiran militernya di wilayah selatan Suriah sejak kejatuhan Assad. Langkah ini termasuk melancarkan serangan udara terhadap gudang senjata dan pangkalan militer yang dianggap mengancam keamanan nasional Israel. Presiden Al-Sharaa telah mengecam serangan-serangan tersebut, dan menyebutnya sebagai upaya destabilisasi oleh Israel. Meskipun pemerintah baru Suriah berkomitmen pada kebijakan luar negeri yang damai, arah hubungan dengan Turkiye masih belum jelas.

Titik Balik: Serangan Israel dan Reaksi Turkiye

Ketegangan mencapai puncaknya setelah Israel melancarkan serangan terhadap sejumlah pangkalan militer yang dilaporkan dibangun dengan dukungan Turkiye. Serangan tersebut, yang menurut laporan media Suriah dan Turkiye, menyebabkan puluhan tentara dan warga sipil terluka, memicu reaksi keras dari Ankara.

Menteri Luar Negeri Turkiye, Hakan Fidan, dalam sebuah wawancara televisi, menuduh Israel memiliki ambisi ekspansionis di Suriah. "Kami tidak bisa tinggal diam melihat Suriah kembali dilanda kekacauan internal, operasi militer, atau provokasi yang dapat mengancam keamanan nasional Turkiye," tegas Fidan. Ia menambahkan bahwa Turkiye akan terus melanjutkan operasi militernya di Suriah, termasuk melalui kekuatan udara, dan menekankan pentingnya koordinasi dengan Israel dan kekuatan militer lainnya di wilayah tersebut.

Peran Amerika Serikat sebagai Mediator Potensial

Isu ketegangan antara Turkiye dan Israel juga menjadi agenda penting dalam pertemuan antara Perdana Menteri Netanyahu dan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, di Washington. Netanyahu menyatakan kekhawatirannya bahwa Suriah berpotensi dijadikan pangkalan oleh pihak-pihak tertentu, termasuk Turkiye, untuk menyerang Israel. Meskipun tidak memberikan rincian spesifik, Netanyahu menyoroti kehadiran jet tempur dan sistem pertahanan udara Turkiye di wilayah selatan Suriah sebagai faktor yang dapat membatasi ruang gerak Israel.

Presiden Trump menawarkan diri untuk menjadi mediator dalam konflik ini. "Kami membahas sejumlah cara untuk mencegah konflik ini, dan saya kira Presiden Amerika Serikat adalah pihak yang paling tepat untuk menjadi penengah," ujarnya. Trump menambahkan bahwa ia memiliki hubungan yang baik dengan Turkiye dan yakin bahwa solusi dapat ditemukan, sambil menekankan pentingnya sikap yang wajar dari kedua belah pihak.