Kekhawatiran Ekonomi Mendorong Konglomerat Indonesia Alihkan Aset ke Luar Negeri
Kekhawatiran Ekonomi Mendorong Konglomerat Indonesia Alihkan Aset ke Luar Negeri
Gelombang kekhawatiran melanda kalangan konglomerat Indonesia, mendorong mereka untuk memindahkan ratusan juta dollar AS ke luar negeri. Langkah ini dipicu oleh meningkatnya ketidakpastian terhadap kebijakan fiskal dan stabilitas ekonomi nasional di bawah pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto.
Menurut laporan eksklusif dari Bloomberg, arus modal keluar telah meningkat secara signifikan sejak pelemahan tajam rupiah terhadap dollar AS pada bulan Maret. Para miliarder ini secara aktif mendiversifikasi portofolio mereka ke aset yang dianggap lebih aman dan likuid, termasuk emas, properti internasional, dan yang semakin populer, stablecoin seperti USDT yang dikeluarkan oleh Tether Holdings SA.
Seorang mantan eksekutif senior dari sebuah konglomerat terkemuka Indonesia, yang identitasnya dirahasiakan, mengungkapkan, "Saya semakin sering membeli USDT dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini memungkinkan saya untuk mempertahankan nilai aset saya dan memindahkannya ke luar negeri jika diperlukan, tanpa harus secara fisik membawa uang tunai melewati perbatasan. Prospek ekonomi Indonesia dan risiko terhadap stabilitas politik negara ini benar-benar membuat saya cemas."
Tujuan Investasi di Luar Negeri
Dana yang dialihkan ke luar negeri digunakan untuk berbagai tujuan investasi, termasuk pembelian properti atas nama keluarga atau teman, dan bahkan melalui perusahaan shell yang didirikan dengan memanfaatkan visa kerja di negara-negara seperti Dubai. Praktik ini memungkinkan para investor untuk melindungi aset mereka dari potensi gejolak ekonomi atau politik di dalam negeri.
Lonjakan minat terhadap cryptocurrency, khususnya stablecoin, juga menjadi tren yang berkembang di kalangan investor kaya Indonesia. Seorang bankir swasta mengungkapkan bahwa klien dengan kekayaan bersih antara 100 juta hingga 400 juta dollar AS telah mengalokasikan hingga 10 persen dari aset mereka ke cryptocurrency sejak Oktober 2024. Tren ini semakin intensif setelah tekanan terhadap rupiah meningkat.
Dampak Terhadap Rupiah dan Kekhawatiran Investor
Arus modal keluar ini diyakini memperburuk tekanan terhadap rupiah, yang baru-baru ini menyentuh titik terendah sepanjang sejarah terhadap dollar AS. Sentimen investor semakin terpengaruh oleh kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Prabowo sejak menjabat pada Oktober lalu, termasuk peningkatan peran militer dalam pemerintahan, peningkatan belanja negara yang signifikan, dan kebijakan terhadap BUMN yang dianggap menimbulkan ketidakpastian fiskal.
Target pertumbuhan ekonomi yang ambisius sebesar 8 persen juga menimbulkan kekhawatiran, karena dipandang hanya dapat dicapai melalui pengeluaran besar-besaran yang berpotensi memperlebar defisit anggaran, memicu inflasi, dan memaksa pemerintah untuk menaikkan pajak.
Analis dari Global Counsel LLP, Dedi Dinarto, menyatakan, "Jika Prabowo bersedia memberikan jaminan yang kredibel tentang disiplin fiskal dan komitmen terhadap investasi utama seperti infrastruktur, arus modal keluar ini masih bisa dibendung."
Pergeseran Tujuan Investasi
Singapura, yang secara tradisional menjadi tujuan utama bagi dana dari Indonesia, tampaknya kehilangan popularitas di kalangan investor kaya karena penerapan regulasi yang lebih ketat setelah kasus pencucian uang besar-besaran. Timur Tengah kini muncul sebagai alternatif yang menarik, karena pengawasan perbankan yang tidak seketat negara tetangga tersebut.
USDT Sebagai Solusi
Stablecoin seperti USDT menawarkan solusi praktis bagi investor yang ingin menghindari pengawasan dalam transaksi besar. Chief Marketing Officer Tokocrypto, Wan Iqbal, mencatat bahwa pasangan USDT/rupiah saat ini menyumbang lebih dari seperempat volume perdagangan harian di platform mereka, yang merupakan bagian dari Binance.
Laporan dari Bloomberg menyoroti bahwa USDT sangat fleksibel untuk ditransfer dan memungkinkan penghindaran deteksi dalam transaksi di atas 100.000 dollar AS. Meskipun Indonesia tidak menerapkan kontrol modal secara tradisional, transaksi besar tetap berisiko menarik perhatian regulator terkait kepatuhan terhadap peraturan anti pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Meskipun belum mencapai skala capital flight seperti pada saat krisis keuangan Asia tahun 1998, beberapa manajer kekayaan dan penasihat keuangan mengindikasikan bahwa tanda-tandanya mulai terlihat. Wawancara dengan lebih dari selusin pihak yang melayani klien ultra-high-net-worth di Indonesia mengungkapkan bahwa kekhawatiran tentang arah ekonomi dan kebijakan pemerintah saat ini telah memicu gelombang capital flight yang signifikan.