Eskalasi Perang Dagang AS-China Picu Kekhawatiran Inflasi Global
Jakarta - Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China semakin memanas setelah kedua negara saling memberlakukan tarif impor yang tinggi. AS menetapkan tarif sebesar 145% untuk seluruh produk dari China, sementara China membalas dengan tarif 125% untuk barang-barang AS yang masuk ke pasar mereka. Langkah ini dinilai dapat memicu dampak signifikan terhadap perekonomian global.
Menurut analisis Chatib Basri, anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), kebijakan tarif tinggi AS dapat mengakibatkan hilangnya produk China dari pasar Amerika dalam waktu tiga bulan. "Jika tarif 104% benar-benar diterapkan, biaya transportasi akan melebihi margin keuntungan, membuat ekspor China ke AS tidak lagi menguntungkan," jelas Chatib dalam sebuah diskusi panel di Jakarta. Ia juga mengkhawatirkan potensi kelangkaan stok barang di AS, mirip dengan situasi yang terjadi selama pandemi Covid-19.
Dampak lain yang mungkin timbul adalah inflasi tinggi di AS akibat kenaikan harga barang impor. Chatib menyatakan, kondisi ini dapat memengaruhi kebijakan moneter Federal Reserve (The Fed). "Jika The Fed tidak bisa menurunkan suku bunga, nilai tukar dolar AS akan menguat, berpotensi memengaruhi ekonomi negara-negara lain," tambahnya.
Chatib juga menjelaskan bahwa kebijakan Presiden AS Donald Trump dalam perang dagang ini tidak bisa dilihat semata-mata dari perspektif makroekonomi. "Ini adalah bagian dari Bayesian Game, di mana tujuannya adalah memaksa negara-negara lain untuk bernegosiasi dengan AS," ujarnya. Namun, strategi ini dinilai berisiko karena dapat memicu perlambatan pertumbuhan ekonomi global, terutama jika China memilih untuk membalas dengan kebijakan yang sama kerasnya.