Transisi Global ke Energi Terbarukan Capai Titik Tertinggi, Sementara Kebijakan AS Berbalik Arah
Laporan terbaru mengungkapkan bahwa pangsa energi terbarukan dalam pembangkit listrik global mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada tahun 2024. Data menunjukkan bahwa 40,9% pasokan listrik dunia kini bersumber dari pembangkit ramah lingkungan, termasuk tenaga surya, angin, hidroelektrik, dan nuklir. Pencapaian ini menandai kemajuan signifikan dalam transisi energi global.
Pertumbuhan energi surya menjadi yang paling spektakuler, dengan peningkatan kapasitas hampir 30% dalam setahun. Meski kontribusinya terhadap energi bersih global masih sekitar 7%, sektor ini telah mencatat pertumbuhan tercepat selama dua dekade terakhir. Dua raksasa Asia, Tiongkok dan India, menjadi motor penggerak utama dalam ekspansi energi terbarukan. Tiongkok menyumbang lebih dari 50% pertumbuhan energi surya global, sementara India berhasil menggandakan kapasitas pembangkit surya dibanding tahun sebelumnya.
- Tiongkok: Memimpin dalam investasi dan implementasi energi terbarukan
- India: Mencatat pertumbuhan tercepat dalam pengembangan infrastruktur surya
- Asia: Diprediksi akan menjadi pusat inovasi energi masa depan
Namun, di tengah tren global yang positif, Amerika Serikat justru menunjukkan kemunduran dalam kebijakan energinya. Pemerintahan saat ini dikabarkan kembali mendorong penggunaan batu bara dan minyak bumi, bertolak belakang dengan komitmen internasional untuk mengurangi emisi karbon. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pakar energi, meskipun pasar di AS sendiri terus menunjukkan preferensi terhadap energi bersih karena faktor ekonomi dan lingkungan.
Bruce Douglas, CEO Global Renewables Alliance, menyatakan, "Tahun lalu, industri energi terbarukan berhasil menambahkan 858 TWh kapasitas pembangkit baru - setara dengan kebutuhan listrik gabungan Inggris dan Prancis." Pernyataan ini menegaskan bahwa meski menghadapi tantangan geopolitik dan ekonomi, transisi energi global terus menunjukkan momentum yang kuat.
Para analis memperingatkan bahwa ketertinggalan AS dalam transisi energi berpotensi memengaruhi posisi kompetitif negara tersebut di masa depan, ketika ekonomi global semakin berbasis pada energi bersih. Sementara banyak negara mempercepat investasi dalam teknologi hijau, kebijakan energi AS yang kontradiktif bisa membuat negara adidaya ini kehilangan peluang dalam persaingan industri masa depan.