Tiga Hakim Ditetapkan sebagai Tersangka dalam Kasus Suap Ekspor Minyak Sawit
Kejaksaan Agung telah menetapkan tiga hakim sebagai tersangka dalam kasus suap terkait penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) untuk tiga perusahaan besar. Ketiga hakim tersebut adalah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta Djuyamto (DJU) dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Penetapan tersangka ini dilakukan setelah penyidik memeriksa tujuh orang saksi dan menemukan bukti yang cukup.
Menurut keterangan resmi dari Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, ketiga hakim diduga menerima suap sebesar Rp 18 miliar dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN). Tujuannya adalah untuk memengaruhi putusan perkara sehingga tiga korporasi besar, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group, dibebaskan dari tuntutan hukum.
Kasus ini melibatkan pelanggaran Pasal 12C juncto 12B juncto 6 ayat 2 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sebelumnya, Kejaksaan Agung juga telah menetapkan Muhammad Arif Nuryanta sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Selain itu, tiga orang lain, termasuk seorang panitera dan dua kuasa hukum, juga ditetapkan sebagai tersangka karena diduga terlibat dalam praktik suap dan gratifikasi.
Berikut adalah rincian tuntutan terhadap ketiga korporasi: - Wilmar Group: Denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 11,88 triliun. Jika tidak dibayar, harta Tenang Parulian (Direktur) akan disita dengan ancaman pidana 19 tahun. - Permata Hijau Group: Denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 937,55 miliar. Jika tidak dibayar, harta David Virgo (pengendali korporasi) akan disita dengan ancaman pidana 12 bulan. - Musim Mas Group: Denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 4,89 triliun. Jika tidak dibayar, harta Ir. Gunawan Siregar (Direktur Utama) akan disita dengan ancaman pidana 15 tahun.
Kasus ini bermula dari putusan bebas yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung pada 19 Maret 2025 untuk ketiga korporasi tersebut. Putusan ini dinilai kontroversial karena bertolak belakang dengan tuntutan awal Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut denda dan uang pengganti dalam jumlah besar.