Okupansi Vila di Bali Anjlok Akibat Maraknya Usaha Ilegal: Ancaman bagi Pariwisata dan Regulasi yang Terlambat

Okupansi Vila di Bali Anjlok Akibat Maraknya Usaha Ilegal: Ancaman bagi Pariwisata dan Regulasi yang Terlambat

Industri perhotelan di Bali tengah menghadapi tantangan serius berupa penurunan okupansi vila secara signifikan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Bali Villa Rental and Management Association (BVRMA), tingkat keterisian vila yang dulunya mencapai 60-80 persen pada tahun 2023, kini anjlok hingga menyentuh angka 30 persen di awal tahun 2025. Penurunan drastis ini dikaitkan langsung dengan maraknya usaha vila ilegal yang beroperasi di Pulau Dewata. Ketua Umum BVRMA, Kadek Adnyana, mengungkapkan keprihatinannya atas situasi ini, menyatakan bahwa penurunan okupansi telah berdampak besar pada pendapatan para pengusaha vila yang terdaftar dan legal.

BVRMA, yang menaungi sekitar 70 perusahaan pengelola lebih dari 1.000 vila di Bali, menekankan bahwa vila-vila yang tergabung dalam asosiasi telah memenuhi seluruh prosedur legalitas, mulai dari perizinan OSS (Online Single Submission) hingga sertifikat laik fungsi. Sebaliknya, vila-vila ilegal diduga hanya mengurus izin OSS dan PMA (Penanaman Modal Asing) saja, tanpa dilengkapi standar operasional yang memadai. Kondisi ini bukan hanya mengancam keberlangsungan usaha vila legal, tetapi juga menimbulkan masalah keamanan dan ketertiban umum. Adanya laporan mengenai penggunaan vila ilegal untuk aktivitas ilegal seperti narkotika dan prostitusi semakin memperparah situasi. Oleh karena itu, BVRMA mendesak pemerintah daerah Bali untuk segera menerbitkan peraturan daerah yang mengatur pembangunan dan operasional vila secara komprehensif, sehingga dapat memberikan payung hukum dalam penindakan terhadap usaha-usaha ilegal tersebut. Ketiadaan regulasi yang tegas dinilai menjadi celah bagi berkembangnya bisnis vila ilegal dan menjadi ancaman nyata bagi sektor pariwisata Bali.

Menanggapi permasalahan ini, Wakil Gubernur Bali, I Nyoman Giri Prasta, menyatakan bahwa pemerintah provinsi sedang menyusun peraturan daerah (Perda) terkait nominee, yakni praktik pinjam nama warga lokal oleh warga negara asing (WNA) untuk memiliki vila di Bali. Modus operandi yang sering digunakan adalah kawin kontrak, yang kemudian digunakan untuk melakukan transaksi daring dengan konsumen di luar negeri guna menghindari pajak di Indonesia. Perda nominee ini diharapkan dapat menjadi instrumen hukum untuk membongkar dan memberantas praktik-praktik ilegal tersebut. Dengan demikian, diharapkan okupansi vila-vila legal dapat kembali meningkat dan kontribusi sektor pariwisata Bali terhadap perekonomian daerah dapat pulih kembali. Pemerintah juga harus memperhatikan aspek keamanan dan kenyamanan wisatawan dengan memastikan semua akomodasi yang beroperasi di Bali memenuhi standar operasional yang telah ditetapkan.

Pemerintah Provinsi Bali perlu mempercepat proses penyusunan dan pengesahan Perda tersebut untuk memberikan kepastian hukum dan solusi yang efektif terhadap masalah ini. Selain itu, perlu juga ditingkatkan upaya pengawasan dan penegakan hukum terhadap usaha-usaha vila ilegal. Kerjasama yang erat antara pemerintah, asosiasi pengusaha vila, dan aparat penegak hukum menjadi kunci keberhasilan dalam mengatasi masalah ini dan menyelamatkan industri pariwisata Bali dari ancaman serius yang ditimbulkan oleh maraknya vila-vila ilegal.

Berikut beberapa poin penting yang perlu diperhatikan:

  • Penurunan okupansi vila: Dari 60-80 persen (2023) menjadi 30 persen (awal 2025).
  • Maraknya vila ilegal: Hanya mengurus izin OSS dan PMA, tanpa standar operasional yang jelas.
  • Aktivitas ilegal: Vila ilegal sering digunakan untuk kegiatan narkotika dan prostitusi.
  • Perlu regulasi yang tegas: Pemerintah Provinsi Bali sedang menyusun Perda tentang nominee.
  • Ancaman terhadap pariwisata Bali: Penurunan okupansi berdampak negatif pada perekonomian daerah.