Kebijakan Tarif Impor Trump: Strategi Fiskal atau Perlindungan Industri?

Kebijakan tarif impor tinggi yang diterapkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia Arrmanatha Christiawan Nasir. Menurut Arrmanatha, kebijakan tersebut lebih ditujukan untuk menutupi penurunan pendapatan pajak penghasilan (income tax) daripada melindungi industri manufaktur domestik atau mengurangi defisit perdagangan.

Arrmanatha menjelaskan bahwa langkah Trump tersebut sejalan dengan manifesto strategi perdagangan AS 2025 yang disusun oleh para penasihat ekonominya, termasuk Peter Navarro. Dalam manifesto tersebut, disebutkan bahwa pengurangan pajak penghasilan merupakan salah satu agenda utama gerakan konservatif. Untuk mengimbangi penurunan pendapatan dari pajak, Trump diklaim memanfaatkan tarif impor sebagai sumber pendapatan alternatif. "Dengan menerapkan tarif 10% untuk semua negara, AS bisa mendapatkan tambahan pendapatan sekitar US$ 330 miliar per tahun," ujarnya.

Selain itu, Arrmanatha menyoroti bahwa kebijakan Trump ini telah memicu reaksi dari berbagai negara yang terpaksa bernegosiasi dengan AS. Namun, negosiasi tersebut justru memberikan keuntungan tambahan bagi AS dalam bentuk insentif perdagangan. "Negara-negara yang menawarkan insentif kepada AS sebenarnya memberikan bonus bagi perdagangan mereka, padahal seharusnya solusi yang lebih tepat adalah membawa AS ke meja perundingan WTO," tegasnya.

Beberapa poin penting yang perlu dicermati dari kebijakan ini antara lain: - Motif fiskal: Kebijakan tarif impor tinggi diduga kuat sebagai upaya menutupi defisit akibat pemotongan pajak penghasilan. - Dampak multilateral: Kebijakan ini dinilai melanggar prinsip perdagangan bebas yang diatur oleh WTO. - Respons global: Banyak negara terpaksa memberikan insentif sebagai imbalan atas pengurangan tarif, yang justru menguntungkan AS.