Konflik Internal Yayasan Dharma Agung Ganggu Proses Perkuliahan, Mahasiswa Mengeluhkan Penutupan Akses Kelas
Konflik Internal Yayasan Dharma Agung Ganggu Proses Perkuliahan, Mahasiswa Mengeluhkan Penutupan Akses Kelas
Sejumlah mahasiswa Universitas Dharma Agung, Medan, mengeluhkan terganggunya proses belajar mengajar akibat penutupan akses menuju ruang kelas. Penutupan ini diduga kuat merupakan dampak dari konflik internal yang terjadi pasca pergantian pengurus Yayasan Perguruan Dharma Agung (YPDA) pada 10 Februari 2025. Matheus Situmorang, mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, mengungkapkan bahwa penutupan akses, yang meliputi pintu menuju gedung birokrasi dan ruang kelas di lantai dua, berdampak signifikan terhadap aktivitas akademik mahasiswa.
"Pada saat pergantian pengurus, pintu akses gedung birokrasi langsung ditutup. Dugaan kami, ini ulah pengurus lama yang keberatan dengan keputusan Ketua Pembina," jelas Matheus. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa eskalasi konflik berlanjut dengan penutupan akses ke ruang kelas di lantai dua pada 18 Februari 2025, tepat di tengah pelaksanaan Ujian Akhir Semester (UAS). "Bayangkan, UAS berlangsung 10-24 Februari, dan sejak tanggal 18 Februari, kami kesulitan mengakses ruang kelas. Kami terpaksa melakukan aksi protes, dan akhirnya diizinkan mengikuti UAS di ruang fakultas pada 22-24 Februari," tambahnya. Namun, kendala tersebut tidak berakhir sampai disitu. Setelah UAS, akses ke ruang kelas kembali ditutup, membuat proses belajar mengajar terhambat secara signifikan. Matheus mewakili mahasiswa lain berharap agar pihak kampus segera menyelesaikan konflik internal yang merugikan seluruh mahasiswa. Ia meminta agar akses kelas dibuka kembali sehingga proses perkuliahan dapat berjalan normal. Untuk mata kuliah tertentu yang memungkinkan, pembelajaran daring menjadi alternatif sementara.
Sementara itu, Wakil Rektor I Universitas Dharma Agung, Lilis Gultom, memberikan penjelasan yang berbeda. Ia menyangkal adanya penutupan akses kelas secara sengaja, dan menyatakan bahwa kemungkinan besar penutupan tersebut disebabkan oleh masa libur pasca ujian. "Tidak ada penutupan akses kelas. Mahasiswa masih libur semester genap, baru selesai ujian. Ruangan di lantai atas mungkin terkunci karena tidak ada kegiatan akademik. Aktivitas administrasi seperti pengisian KRS hanya dilakukan di lantai bawah," ungkap Lilis melalui sambungan telepon. Pernyataan ini kontras dengan pernyataan mahasiswa yang mengalami langsung dampak dari penutupan tersebut.
Perbedaan pernyataan antara pihak mahasiswa dan pihak kampus menyisakan pertanyaan mengenai transparansi informasi dan penyelesaian konflik. Kejelasan informasi mengenai status sebenarnya akses ke ruang kelas dan upaya kampus dalam menyelesaikan perselisihan internal menjadi krusial untuk memastikan kelancaran proses perkuliahan. Ketidakpastian ini tentunya menimbulkan kekhawatiran di kalangan mahasiswa tentang kelanjutan proses belajar mereka. Lebih jauh lagi, perlu dipertanyakan mekanisme internal kampus dalam menangani konflik dan melindungi hak-hak akademik mahasiswa.
Situasi ini menyoroti pentingnya komunikasi efektif dan transparan antara pihak kampus, yayasan, dan mahasiswa. Proses mediasi yang melibatkan semua pihak diperlukan untuk menemukan solusi yang adil dan memastikan tidak terulangnya kejadian serupa di masa mendatang. Kejelasan informasi dan keterbukaan akan menjadi kunci dalam membangun kepercayaan dan memulihkan proses belajar mengajar yang terganggu.