Dominasi Birokrat dan Politisi dalam Jajaran Komisaris Tujuh BUMN di Bawah Naungan Danantara

Dominasi Birokrat dan Politisi dalam Jajaran Komisaris Tujuh BUMN di Bawah Naungan Danantara

Kekhawatiran terhadap independensi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali mencuat seiring terungkapnya komposisi jajaran komisaris di tujuh BUMN yang berada di bawah pengelolaan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara). Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Danang Widoyoko, menyoroti tingginya proporsi birokrat dan politisi dalam susunan komisaris tersebut. Berdasarkan data TII, dari total 60 komisaris, sebanyak 53,33 persen berasal dari kalangan birokrat, sementara 16,67 persen merupakan politisi dari berbagai partai politik. Temuan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai potensi konflik kepentingan dan penghambatan terhadap pengambilan keputusan yang objektif dan profesional.

Danang Widoyoko menekankan bahwa praktik penunjukan komisaris BUMN yang cenderung mengarah pada political appointment merupakan permasalahan struktural yang menggerus independensi perusahaan. Ia mencontohkan kasus serupa di perusahaan-perusahaan besar seperti PLN dan MIND ID. Proporsi profesional dalam jajaran komisaris hanya mencapai 20 persen, sementara sisanya diisi oleh aparat penegak hukum (5 persen) dan aparat keamanan (3,33 persen). Kondisi ini, menurut Danang, menunjukkan bahwa penempatan jajaran komisaris lebih didasarkan pada pertimbangan politik ketimbang kompetensi dan integritas profesional.

Keberadaan Danantara sendiri, yang baru diresmikan pada 24 Februari 2025, semakin menambah kekhawatiran tersebut. Danang menyayangkan komposisi kepemimpinan Danantara yang tidak diisi oleh figur-figur berpengalaman dari sektor swasta internasional, seperti misalnya mantan eksekutif dari perusahaan-perusahaan terkemuka di dunia. Sebaliknya, terdapat indikasi keterlibatan keluarga elite politik dalam struktur kepemimpinan Danantara. Hal ini, menurut Danang, akan semakin mempersulit upaya untuk menjaga independensi dan otonomi pengambilan keputusan di dalam BUMN yang berada di bawah naungan Danantara. Potensi intervensi politik dalam operasional BUMN menjadi ancaman serius bagi tata kelola perusahaan yang baik dan berdampak pada kinerja serta daya saing BUMN itu sendiri.

Lebih lanjut, Danang menjelaskan bahwa intervensi politik umumnya terjadi melalui jalur komisaris. Oleh karena itu, komposisi komisaris menjadi indikator penting dalam menilai tingkat independensi BUMN. Dominasi birokrat dan politisi ini, menurutnya, menimbulkan beban bagi BUMN dan Danantara dalam jangka panjang, serta berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan. TII pun mendesak agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pengangkatan komisaris BUMN dan memastikan bahwa proses tersebut didasarkan pada prinsip meritokrasi, transparansi, dan akuntabilitas yang tinggi.

Daftar rinci komposisi komisaris:

  • Birokrat: 53,33 persen
  • Profesional: 20 persen
  • Politisi: 16,67 persen
  • Aparat Penegak Hukum (Jaksa, Polisi): 5 persen
  • Aparat Keamanan (TNI, BIN): 3,33 persen

Praktik political appointment yang sistemik ini memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak agar dapat segera diatasi. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengangkatan komisaris menjadi kunci utama untuk menjamin independensi BUMN dan menciptakan iklim investasi yang sehat dan kondusif.