Polemik Penyitaan Aset Koruptor: Antara Keadilan dan Dampak bagi Keluarga

Jakarta - Isu penyitaan aset koruptor kembali mencuat seiring pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pentingnya prinsip keadilan dalam proses perampasan harta hasil tindak pidana korupsi. Salah satu anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Muhammad Nasir Djamil, menyatakan kesepahaman dengan pandangan tersebut, khususnya terkait perlindungan hak anak pelaku korupsi yang tidak terlibat.

Menurut Nasir, pertanggungjawaban pidana korupsi bersifat individual sehingga aset yang disita harus benar-benar merupakan hasil kejahatan. "Mekanisme penyitaan wajib melalui proses hukum yang valid, termasuk pembuktian kepemilikan aset," tegasnya. Ia mengingatkan, anak koruptor berhak mendapat pendidikan layak selama tidak terlibat dalam kejahatan orangtuanya.

Namun, Nasir memberikan catatan penting: - Aset turunan: Jika anak diketahui menikmati hasil korupsi, aset tersebut wajib disita - Efek jera: Penyitaan harus mempertimbangkan dampak psikologis tanpa mengabaikan pemulihan kerugian negara - Aspek kemanusiaan: Keluarga yang tidak bersalah tidak boleh dirugikan secara berlebihan

Pernyataan ini menanggapi pidato Prabowo di kediamannya pada awal April 2025 yang menekankan: 1. Prinsip proporsionalitas dalam penyitaan aset 2. Perlindungan hak keluarga terutama aset yang diperoleh sebelum pelaku menjabat 3. Mekanisme verifikasi oleh ahli hukum untuk menentukan keadilan penyitaan

"Korupsi merusak bangsa, tapi penegakan hukum harus tetap manusiawi," tandas Prabowo dalam wawancara tersebut. Debat ini memperlihatkan kompleksitas pemberantasan korupsi yang harus menyeimbangkan antara efek jera dan perlindungan hak asasi pihak tak bersalah.