Pro Kontra Skema Royalti Digital Langsung AKSI di Tengah Revisi UU Hak Cipta

Asosiasi Komposer Musik Indonesia (AKSI) tengah mempersiapkan peluncuran platform Digital Direct License (DDL) yang menuai pro kontra di kalangan musisi. Platform berbasis web ini dirancang sebagai solusi transparansi pembayaran royalti bagi pencipta lagu, meski implementasinya masih menunggu revisi Undang-Undang Hak Cipta.

Ketua Umum AKSI Piyu Padi Reborn menjelaskan, DDL akan menerapkan mekanisme Non Disclosure Agreement (NDA) untuk melindungi data finansial artis. "Skema pembayaran bersifat rahasia antara platform dan pengguna. Kami hanya memastikan nominal honor aktual tanpa manipulasi data," tegas Piyu dalam keterangannya di Jakarta. Saat ini, akses DDL terbatas hanya untuk komposer dan musisi anggota AKSI guna menjaga kualitas database.

Berikut poin-poin krusial dalam skema DDL: - Pembayaran royalti baru dihitung ketika honor penyanyi melampaui Rp10 juta - Fokus awal pada musisi profesional dengan transaksi komersial besar - Sistem selektif untuk memastikan update informasi karya terbaru

Rayen Pono, musisi non-anggota AKSI, mengkritik aspek kerahasiaan data dalam DDL. "Ada UU yang melindungi kerahasiaan penghasilan individu. Konsep radikal seperti ini berpotensi menimbulkan gesekan," ujarnya merujuk pada pernyataan Ahmad Dhani tentang pendekatan non-konvensional dalam industri musik.

AKSI menargetkan peluncuran DDL pada 2025, dengan syarat revisi UU Hak Cipta memuat klausul pendukung skema direct license. Kebijakan ini diharapkan bisa menyelesaikan polemik pembayaran royalti yang selama ini menjadi persoalan kronis di industri musik tanah air.