Protes Nelayan Muara Angke: Kebijakan KKP Dinilai Tidak Pro-Rakyat Kecil
Jakarta – Kelompok nelayan tradisional di Muara Angke, Jakarta Utara, menuntut pemerintah untuk lebih mempertimbangkan kondisi riil di lapangan sebelum menerbitkan kebijakan terkait sektor kelautan dan perikanan. Aksi protes digelar sebagai bentuk kekecewaan terhadap sejumlah regulasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dinilai memberatkan mata pencaharian mereka.
Nunung (60), perwakilan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) sekaligus Ketua RW 21 Pluit, menegaskan bahwa kebijakan yang dibuat tanpa melibatkan aspirasi nelayan justru akan berdampak buruk pada keberlangsungan hidup mereka. "Pemerintah harus turun langsung, lihat bagaimana kami bekerja. Jangan hanya mengandalkan laporan dari meja kantor," ujarnya dalam aksi unjuk rasa di Muara Angke, Senin (14/4/2025).
Berikut tiga poin kebijakan KKP yang menuai kritik:
-
Pemasangan Vessel Monitoring System (VMS) – KKP mewajibkan seluruh kapal nelayan dilengkapi dengan alat pelacak berbasis satelit. Namun, harga VMS yang mencapai Rp16 juta per unit dinilai tidak terjangkau bagi nelayan kecil. Tanpa alat ini, kapal dilarang beroperasi.
-
Pembatasan Zona Tangkapan Ikan – Nelayan Muara Angke hanya diizinkan melaut di dua zona terbatas: Wilayah 711 (Selat Karimata, Laut Natuna, Laut China Selatan) atau Wilayah 712 (Laut Jawa). Pelanggaran dikenai denda ratusan juta rupiah, padahal pembatasan ini mengurangi hasil tangkapan signifikan.
-
Pelarangan Penggunaan Rumpon – Alat bantu penangkapan ikan tradisional ini dianggap ilegal oleh KKP, meski nelayan mengklaim rumpon ramah lingkungan dan vital bagi produktivitas mereka. "Ini seperti memutus nafkah kami," keluh Saepudin, nelayan setempat.
Para nelayan mengancam akan terus memperjuangkan hak mereka hingga kebijakan direvisi. "Kami sudah lelah berdiskusi dengan menteri. Sekarang, kami akan menyampaikan langsung ke Presiden," tegas Nunung.