Sengketa Tanah di Ambarawa: Enam Sertifikat Berbeda Klaim Lahan Warisan Keluarga
UNGARAN – Sebuah kasus sengketa tanah yang kompleks tengah mencuat di Lodoyong, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Endang Sulistyo Rini, seorang warga setempat, terpaksa berjuang di meja hijau untuk mempertahankan haknya atas sebidang tanah seluas 2.500 meter persegi yang diyakini sebagai warisan keluarganya sejak era 1950-an. Ironisnya, saat ini terdapat enam sertifikat berbeda atas nama orang lain yang mengklaim kepemilikan sebagian dari lahan tersebut.
Rini, yang didampingi kuasa hukumnya, Efendi Panjaitan dan Erwin Sibarani, telah menjalani sepuluh kali persidangan di Pengadilan Negeri Ungaran. Sidang terakhir pada Senin (14/4/2025) menghadirkan sejumlah saksi kunci, termasuk anggota DPRD Kabupaten Semarang The Hok Hiong dan Daroji, serta Lurah Lodoyong. Berikut fakta-fakta krusial dalam kasus ini:
- Sejarah Kepemilikan: Keluarga Rini telah menempati lahan tersebut sejak tahun 1950-an dengan dasar kepemilikan Letter C Desa Persil 27 Nomor 1404 atas nama almarhum Suhardi, ayah Rini.
- Munculnya Klaim Baru: Enam bangunan dengan luas bervariasi (90-200 meter persegi) muncul di atas lahan tersebut, masing-masing dilengkapi sertifikat kepemilikan.
- Dasar Gugatan: Rini tidak pernah melakukan transaksi jual-beli dengan siapapun, dan baru mengetahui adanya sertifikat lain saat hendak mengurus sertifikat atas namanya pada 2020.
Efendi Panjaitan menegaskan adanya ketidaksesuaian dalam klaim pihak tergugat yang menggunakan dasar Eigendom (hak milik era kolonial), sementara kliennya memiliki Letter C Desa sebagai bukti kepemilikan. "Kami menduga ada kesalahan prosedur dalam penerbitan sertifikat oleh pihak terkait," tegasnya. Kasus ini juga menyentuh lembaga Balai Harta Peninggalan (BHP), meski belum dijadikan bahan pembuktian oleh para tergugat.
Erwin Sibarani menambahkan, para tergugat dalam kasus ini meliputi enam individu (Ratna Indarni, Agung Dian Prasetyo, Irma Eko Prasetyo, Suroso, Iriyanto, dan Rudi Pramono) serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai pihak terkait. "Ini adalah upaya keluarga pejuang untuk mendapatkan kepastian hukum atas tanah yang secara turun-temurun menjadi hak mereka," paparnya. Hingga berita ini diturunkan, upaya konfirmasi kepada para tergugat belum membuahkan hasil.