Ketegangan Perdagangan Global dan Ancaman Resesi yang Mengintai
Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China dalam perang dagang kembali memanas setelah Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk mempertahankan tarif impor tinggi terhadap produk China sebesar 145%, sementara negara lain diberikan keringanan tarif sebesar 10%. Kebijakan ini memicu reaksi keras dari China, yang merespons dengan menaikkan tarif impor produk AS menjadi 125%. Aksi saling balas ini menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan global, yang sempat menunjukkan pemulihan singkat sebelum kembali terpuruk.
Pasar keuangan global mengalami volatilitas tinggi setelah pengumuman kebijakan tarif tersebut. Indeks saham di Wall Street sempat melonjak 12% dalam sehari, diikuti oleh penguatan di bursa Asia, termasuk IHSG yang naik 4,79%. Namun, reli ini tidak bertahan lama. Keesokan harinya, indeks saham AS seperti Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq kembali melemah hingga 4,3%. Ketidakpastian ini diperparah oleh proyeksi resesi dari Goldman Sachs, yang semula memperkirakan kemungkinan resesi sebesar 65%, kemudian direvisi menjadi 45% setelah pengumuman penundaan tarif.
Bank Sentral AS (The Fed) menghadapi dilema besar dalam menangani inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Inflasi AS tercatat sebesar 2,4% (yoy), lebih rendah dari proyeksi, namun masih di atas target The Fed sebesar 2%. Suku bunga acuan saat ini berada di level 4,33%, mendekati level saat Krisis Keuangan Global 2008. The Fed diprediksi akan mempertahankan sikap hawkish untuk menekan inflasi, meskipun berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi dan memicu resesi.
Dampak global dari kebijakan AS tidak hanya terbatas pada China. Lebih dari 90 negara, termasuk Indonesia, terkena imbas kenaikan tarif impor AS. Indonesia sendiri dikenakan tarif sebesar 32%, yang berpotensi mengganggu arus perdagangan dan investasi. Jika kebijakan ini terus berlanjut, risiko resesi global akan semakin nyata, dengan efek domino yang dapat memengaruhi pasar keuangan, nilai tukar, dan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara.
Indonesia, meski memiliki ketahanan ekonomi berbasis konsumsi domestik, tetap rentan terhadap gejolak global. Pelemahan rupiah dan tekanan pada pasar saham dapat terjadi jika investor beralih ke aset safe-haven seperti emas dan obligasi AS. Pengalaman selama Krisis Finansial Global 2008 dan pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa pasar keuangan Indonesia tidak kebal terhadap guncangan eksternal. Pemerintah perlu menyiapkan langkah antisipatif, termasuk stimulus fiskal dan penguatan sektor riil, untuk mengurangi dampak resesi global jika terjadi.