Ketegangan PDIP dan KPK Terkait Kasus Hakim Djuyamto dan Praperadilan Hasto Kristiyanto
Ketegangan antara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanas menyusul penetapan hakim Djuyamto sebagai tersangka dalam kasus suap terkait putusan lepas perkara korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO). Kasus ini mencuat setelah Djuyamto, yang sebelumnya menangani praperadilan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, ditetapkan sebagai tersangka bersama sejumlah hakim dan panitera.
PDIP melalui juru bicaranya, Guntur Romli, menyatakan kekhawatiran atas integritas lembaga peradilan. Guntur mengungkapkan bahwa informasi mengenai dugaan keterlibatan Djuyamto dalam jaringan suap telah disampaikannya secara terbuka sebelum penangkapan terjadi. Ia juga menyinggung kemungkinan adanya intervensi dalam proses pengadilan Hasto Kristiyanto, yang saat ini sedang menghadapi tuntutan dari KPK.
- Guntur menegaskan bahwa Hasto Kristiyanto bukan pejabat publik dan tidak ada kerugian negara dalam kasus yang menjeratnya.
- Ia juga mempertanyakan alasan KPK menangani kasus dengan nilai di bawah Rp1 miliar, sementara kasus suap yang melibatkan Djuyamto bernilai lebih tinggi.
- PDIP menyebut Hasto sebagai 'tahanan politik' dan menuding adanya rekayasa kasus sebagai bentuk balas dendam politik.
Di sisi lain, KPK melalui juru bicaranya, Tessa Mahardhika, menegaskan bahwa semua proses hukum yang dilakukan telah sesuai dengan prosedur. KPK menyatakan tidak pernah menerima laporan mengenai intervensi dalam persidangan praperadilan Hasto Kristiyanto. Tessa juga mendorong pihak yang memiliki bukti intervensi untuk melaporkannya kepada aparat penegak hukum.
Kasus ini semakin mempertajam ketegangan antara PDIP dan KPK, sekaligus memunculkan pertanyaan serius tentang independensi lembaga peradilan. PDIP terus menyuarakan kekhawatiran atas praktik suap dan intervensi, sementara KPK bersikeras bahwa semua tindakannya berdasarkan hukum dan tanpa campur tangan pihak lain.