Kue Kicak Yogyakarta: Tradisi Ramadan dan Simbol Silaturahmi

Kue Kicak Yogyakarta: Tradisi Ramadan dan Simbol Silaturahmi

Di tengah ramainya sajian kuliner Ramadan di Indonesia, kue kicak dari Yogyakarta hadir sebagai representasi unik tradisi dan nilai budaya. Lebih dari sekadar camilan pembuka puasa, kue kicak menyimpan sejarah panjang dan filosofi yang mendalam, menjadikan keberadaannya sebagai warisan kuliner yang patut dijaga dan dilestarikan. Sejarahnya yang dapat ditelusuri hingga tahun 1950-an, mengaitkan kue ini dengan sosok Mbah Wono di Kampung Kauman, Gondomanan, Yogyakarta. Mbah Wono, istri dari Muhammad Wahono, tercatat sebagai salah satu perintis pembuatan kue kicak yang hanya diproduksi dan dipasarkan khusus selama bulan Ramadan, mencerminkan tradisi turun-temurun yang masih bertahan hingga kini. Popularitasnya yang meroket selama Ramadan menjadi bukti kuat atas daya tarik dan cita rasa khasnya.

Resep kue kicak sendiri terbilang sederhana namun kaya rasa. Bahan-bahannya terdiri dari jaddah (ketan yang ditumbuk halus), gula, parutan kelapa, nangka, pandan, dan vanili. Proses pembuatannya yang melibatkan pengukusan dengan api kayu bakar, turut memberikan aroma dan tekstur unik yang sulit ditiru. Tekstur jaddah yang lembut dan lengket, dipadu dengan manisnya gula dan aroma harum pandan dan vanili, menciptakan cita rasa manis legit yang khas dan mengenyangkan. Pembungkus daun pisang pun tak hanya menambah cita rasa, tetapi juga menjadi bagian dari estetika penyajian kue kicak, sekaligus menjaga kesegaran dan aroma khasnya. Lebih dari sekadar hidangan penutup, kue kicak seringkali menjadi menu takjil yang dinantikan oleh banyak orang di Yogyakarta dan sekitarnya.

Namun, di balik kelezatannya, kue kicak juga menyimpan nilai-nilai luhur yang sarat makna. Chef Wira Hardiyansyah, seorang pakar kuliner Indonesia, menyinggung asal-usul nama “kicak” yang kemungkinan berasal dari kata “kinca” dalam bahasa Jawa kuno, yang berarti gula Jawa. Hal ini menunjukkan akar sejarah yang dalam dari kue ini. Lebih jauh lagi, Wira menjelaskan bahwa kue kicak memiliki peran penting dalam berbagai upacara adat, khususnya dalam acara-acara penting sebagai bentuk penghormatan kepada orang tua atau dalam upacara pernikahan. Teksturnya yang lengket melambangkan eratnya silaturahmi, sementara rasa manisnya menjadi simbol keindahan dan kebahagiaan. Oleh karena itu, kue kicak bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga simbol persatuan dan keharmonisan keluarga dalam semangat Ramadan.

Dalam konteks modern, kue kicak dapat dilihat sebagai representasi dari keberlanjutan tradisi kuliner Indonesia. Dengan mempertahankan resep dan proses pembuatan tradisional, kue kicak tetap mempertahankan keunikan dan cita rasanya. Namun, di sisi lain, perkembangan zaman juga memberikan kesempatan untuk berinovasi, misalnya dengan mengeksplorasi variasi rasa atau kemasan yang lebih modern tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisional yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, kue kicak diharapkan dapat terus dinikmati oleh generasi mendatang dan tetap relevan dalam konteks kuliner masa kini.

Berikut ringkasan poin penting mengenai Kue Kicak:

  • Sejarah panjang sejak tahun 1950-an, bermula dari Mbah Wono di Yogyakarta.
  • Terbuat dari jaddah (ketan halus), gula, kelapa, nangka, pandan, dan vanili, dikukus dengan kayu bakar.
  • Rasa manis legit dan tekstur lengket yang khas.
  • Dibungkus daun pisang untuk menjaga kesegaran dan aroma.
  • Simbol silaturahmi dan keindahan dalam budaya Jawa.
  • Memiliki peran dalam upacara adat dan acara penting.
  • Representasi tradisi kuliner Indonesia yang perlu dilestarikan.