Polemik Ijazah Presiden: Antara Tuduhan dan Pembuktian Hukum
Presiden Joko Widodo kembali menjadi sorotan setelah munculnya klaim dari mantan dosen Universitas Mataram, Rismon Hasiholan Sianipar, yang meragukan keaslian ijazah sarjana Presiden dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Tuduhan ini bukan kali pertama muncul, namun kembali mencuat dengan argumen teknis terkait penggunaan font Times New Roman pada dokumen akademik yang dianggap tidak sesuai dengan era 1980-1990an.
Tim kuasa hukum Presiden secara tegas membantah segala tuduhan terkait pemalsuan ijazah. Yakup Hasibuan, salah satu pengacara Presiden, menegaskan bahwa beban pembuktian sepenuhnya berada di pihak penuduh. "Prinsip hukum sangat jelas: siapa yang menuduh, dialah yang wajib membuktikan," tegas Yakup dalam konferensi pers di Jakarta. Tim hukum juga menyatakan kesiapan untuk menunjukkan dokumen asli jika diminta secara resmi melalui proses hukum yang berlaku.
Beberapa poin penting yang diungkapkan tim kuasa hukum: - Keaslian ijazah telah diverifikasi oleh UGM sebagai institusi penerbit - Dokumen tersebut telah lolos verifikasi KPU dalam berbagai pemilu - Tidak ada kewajiban hukum untuk memamerkan ijazah ke publik - Tuduhan ini dinilai sebagai upaya pembunuhan karakter
UGM sebagai pihak terkait telah memberikan penjelasan resmi melalui Sigit, perwakilan universitas. Beberapa klarifikasi penting dari UGM: - Sistem penomoran ijazah tahun 1980-an berbeda dengan standar sekarang - Penggunaan font sejenis Times New Roman sudah umum di percetakan kala itu - Terdapat bukti konkret aktivitas akademik Presiden selama masa studi
Dampak dari polemik ini telah memicu perdebatan publik yang terpolarisasi. Di satu sisi, terdapat kelompok yang mempertanyakan transparansi, sementara di sisi lain banyak yang menilai isu ini sebagai upaya politis yang tidak berdasar. Tim hukum Presiden mengindikasikan kemungkinan mengambil langkah hukum terhadap penyebar informasi yang dianggap fitnah, meskipun masih dalam tahap pertimbangan.