Kebijakan Trump: Guncangan di Asia Timur dan Tantangan bagi Sekutu AS
Kebijakan Trump: Guncangan di Asia Timur dan Tantangan bagi Sekutu AS
Kembalinya Donald Trump ke kursi kepresidenan Amerika Serikat telah memicu gelombang kejutan di seluruh dunia, khususnya di Asia Timur. Keputusan-keputusan kontroversial Trump, termasuk perubahan sikap drastis terhadap perang Ukraina dan penolakan bantuan militer ke Kyiv, telah menimbulkan kekhawatiran mendalam di kalangan sekutu AS di kawasan tersebut, termasuk Jepang dan Korea Selatan.
Pernyataan Trump yang menolak masuknya Ukraina ke NATO dan penghentian bantuan militer telah ditafsirkan oleh banyak pihak sebagai upaya pendekatan dengan Moskow, bahkan tekanan terhadap Kyiv untuk menerima gencatan senjata dengan syarat yang menguntungkan Rusia. Langkah ini tidak hanya mengejutkan Eropa, tetapi juga menimbulkan kecemasan di Asia Timur yang selama ini bergantung pada komitmen keamanan AS. Jepang dan Korea Selatan, yang secara geografis berdekatan dengan kekuatan-kekuatan regional seperti China, Korea Utara, dan Rusia, kini menghadapi dilema yang kompleks.
Keengganan Berbicara Terbuka
Meskipun Tokyo dan Seoul sangat bergantung pada AS untuk pertahanan mereka, dengan lebih dari 80.000 tentara AS yang ditempatkan di kedua negara, mereka menunjukkan sikap hati-hati dalam menanggapi kebijakan Trump. Keengganan mereka untuk secara terbuka mengkritik Trump didorong oleh kekhawatiran akan reaksi pemimpin AS tersebut yang sangat berpengaruh terhadap keamanan dan perdagangan mereka. Mereka dipaksa untuk berhati-hati karena menyadari kekuatan militer China, Korea Utara, dan Rusia yang terus meningkat.
Keraguan terhadap Komitmen AS
Jeff Kingston, direktur Studi Asia di Temple University di Tokyo, menyoroti situasi ini dengan analogi yang mencemaskan. Ia mempertanyakan apakah Jepang dan Korea Selatan akan ditinggalkan oleh Washington dan “mendapat perlakuan seperti Ukraina” dari Presiden China Xi Jinping. Meskipun Jepang dan Korea Selatan memiliki sejarah hubungan yang kompleks, ancaman keamanan bersama tampaknya telah mempersatukan kedua negara ini dalam kekhawatiran atas ketidakpastian kebijakan luar negeri AS di bawah kepemimpinan Trump.
Bahkan di kalangan konservatif Jepang yang sebelumnya mendukung Trump, terdapat ketidakpercayaan yang tumbuh terhadap keputusan-keputusan presiden tersebut. Yoichi Shimada, seorang politisi dari partai konservatif sayap kanan, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa aliansi lama dengan AS mungkin tidak lagi bernilai bagi Trump. Ia memperkirakan Trump akan menuntut peningkatan biaya penempatan pasukan AS di Jepang, yang sebelumnya dianggap sebagai dukungan keamanan regional, tetapi sekarang dilihat sebagai sumber pendapatan bagi AS. Sikap ini menandakan perubahan signifikan dalam persepsi peran AS di kawasan ini.
Pergeseran Fokus ke Indo-Pasifik?
Sementara beberapa analis melihat pergeseran fokus AS yang lebih kuat ke Indo-Pasifik sebagai tanggapan terhadap meningkatnya pengaruh China, Khac Giang Nguyen dari ISEAS–Yusof Ishak Institute di Singapura, mengingatkan agar tidak terlalu optimis. Meskipun pejabat senior pemerintahan Trump telah lama menyerukan fokus pada Indo-Pasifik, keputusan-keputusan kontroversial Trump di Ukraina tetap menimbulkan keraguan mengenai komitmen AS terhadap kawasan ini.
Pernyataan pejabat pemerintahan Trump seperti Elbridge Colby mengenai Taiwan juga menimbulkan implikasi yang signifikan. Meskipun menekankan pentingnya Taiwan bagi keamanan nasional AS, Colby juga mengkritik belanja pertahanan Taiwan yang dianggap kurang memadai. Hal ini menunjukkan potensi tekanan AS terhadap Taiwan untuk meningkatkan pengeluaran pertahanannya, sementara secara bersamaan menghadapi tantangan dari China.
Asia Tenggara: Antara Kecemasan dan Autonomi Strategis
Di Asia Tenggara, dukungan Trump terhadap sudut pandang Rusia dan tindakannya di PBB telah menimbulkan kekhawatiran akan prioritas AS yang lebih mementingkan kekuatan mentah daripada tatanan internasional yang berbasis aturan. Zachary Abuza dari National War College di Washington memperingatkan negara-negara Asia Tenggara akan potensi ditinggalkan AS jika melakukan negosiasi dengan China. Meskipun terdapat potensi negosiasi AS-China, negara-negara Asia Tenggara tetap berjuang untuk mencapai otonomi strategis dalam menghadapi pengaruh China yang semakin besar. Filipina, misalnya, mencoba menyeimbangkan hubungannya dengan AS sambil meningkatkan kemampuan pertahanan dan kerja sama keamanan dengan negara-negara lain di kawasan ini.
Asia Selatan: Prioritas Rendah?
Berbeda dengan kawasan lain, Asia Selatan tampaknya menjadi prioritas rendah bagi pemerintahan Trump. Meskipun terdapat peningkatan kerja sama pertahanan dengan India, keterlibatan AS dengan negara-negara lain seperti Pakistan dan Afghanistan terbilang minim. Madiha Afzal dari Brookings Institution mengamati bahwa Pakistan, meskipun memiliki hubungan yang rumit dengan AS, tidak akan meninggalkan kemitraan tersebut karena menyadari pentingnya pengaruh global AS bagi keamanan dan posisinya di kawasan.
Kesimpulannya, kebijakan Trump telah menimbulkan guncangan signifikan di Asia Timur dan menimbulkan tantangan bagi sekutu AS. Ketidakpastian kebijakan luar negeri AS di bawah kepemimpinan Trump telah mendorong negara-negara di kawasan ini untuk mengevaluasi kembali strategi keamanan mereka dan berupaya memperkuat kemampuan pertahanan serta kerja sama regional guna menghadapi tantangan geopolitik yang semakin kompleks.