Perempuan Afghanistan Beralih ke Tenun Karpet Akibat Larangan Pendidikan oleh Taliban

Sejak Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan pada Agustus 2021, hak pendidikan bagi perempuan di negara tersebut semakin terbatas. Anak perempuan di atas usia 12 tahun tidak lagi diizinkan mengenyam pendidikan formal, sementara akses terhadap pekerjaan bagi kaum perempuan juga dibatasi secara ketat. Dalam situasi yang serba sulit ini, banyak perempuan Afghanistan terpaksa beralih ke industri tenun karpet sebagai satu-satunya sumber penghidupan yang masih tersedia.

Industri tenun karpet menjadi tumpuan bagi sekitar 1,2 hingga 1,5 juta warga Afghanistan, dengan 90% di antaranya adalah perempuan. Profesi ini menuntut ketahanan fisik dan ketelitian tinggi, dengan jam kerja yang bisa mencapai 10 hingga 12 jam per hari. Namun, upah yang diterima para penenun sangat rendah, seringkali kurang dari satu dolar per hari.

Kondisi Pekerja Perempuan di Industri Karpet - Upah minim: Para penenun hanya menerima sekitar $27 per meter persegi karpet, yang membutuhkan waktu produksi sekitar satu bulan. - Lingkungan kerja yang berat: Ruang kerja sempit dengan ventilasi buruk menjadi tantangan sehari-hari. - Hilangnya kesempatan pendidikan: Banyak perempuan muda terpaksa meninggalkan cita-cita akademik dan profesional mereka.

Shakila (22 tahun), seorang mantan pelajar yang bercita-cita menjadi pengacara, kini memimpin usaha tenun karpet keluarga. "Kami tidak punya pilihan lain," ujarnya. Meskipun pernah menghasilkan karpet yang terjual seharga $18.000 di luar negeri, di Afghanistan karya serupa hanya dihargai dengan harga yang jauh lebih rendah.

Dampak Kebijakan Taliban terhadap Masa Depan Perempuan Taliban berulang kali menjanjikan akan membuka kembali sekolah untuk perempuan setelah "menyelesaikan penyelarasan kurikulum", namun hingga kini belum ada realisasi nyata. Sementara itu, PBB mencatat bahwa pembatasan terhadap perempuan telah menyebabkan kerugian ekonomi mencapai $1 miliar, dengan penurunan Produk Domestik Bruto sebesar 29% sejak 2020.

Di tengah segala keterbatasan, semangat para perempuan Afghanistan tetap menyala. Salehe Hassani (19 tahun), yang pernah bercita-cita menjadi jurnalis, tetap belajar bahasa Inggris secara mandiri. "Kami menolak berhenti belajar," tegasnya, sambil berharap suatu hari nanti bisa menjadi dokter terkemuka di negaranya.