Pakar Sarankan Reformasi Pendekatan Keamanan dan Kesejahteraan untuk Papua
Jakarta - Pakar keamanan Khairul Fahmi mengkritik pendekatan pemerintah dalam menangani eskalasi konflik di Papua yang dinilai belum optimal. Serangkaian serangan terhadap warga sipil dan aparat keamanan dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap strategi yang selama ini diterapkan.
Fahmi menegaskan, pola respons yang bersifat reaktif—seperti pengiriman pasukan setelah terjadinya insiden—tidak lagi relevan untuk menciptakan stabilitas jangka panjang. "Pemerintah perlu merancang pendekatan yang terukur, presisi, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan," ujarnya. Ia menyarankan pembagian peran yang jelas antara instansi keamanan dan lembaga sipil:
- TNI: Fokus pada operasi militer terarah melawan kelompok bersenjata
- Polri: Penegakan hukum dan perlindungan masyarakat di wilayah konflik
- Lembaga Sipil: Peningkatan layanan publik di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi
Fahmi juga menyoroti lemahnya sistem intelijen sebagai faktor penyebab gagalnya pencegahan kekerasan. "Intelijen harus menjadi tulang punggung strategi keamanan, bukan sekadar alat reaktif," tegasnya. Di sisi pembangunan, ia mendesak revisi kebijakan Otonomi Khusus dengan menekankan pada:
- Partisipasi aktif masyarakat Papua dalam pengambilan kebijakan
- Perlindungan hak atas tanah dan identitas budaya
- Pemerataan akses pendidikan dan ekonomi
Dalam konteks global, Fahmi mendorong pemerintah lebih gencar menyampaikan narasi bahwa operasi keamanan di Papua bertujuan melindungi kedaulatan negara, bukan menindas masyarakat. "Perlu perubahan paradigma dari pendekatan keamanan semata menuju keseimbangan antara stabilitas dan kesejahteraan," pungkasnya.
Terpisah, laporan terbaru menyebutkan aksi kekerasan masih terjadi di beberapa wilayah Papua. Kelompok bersenjata lokal mengklaim telah menyerang pos patroli militer di Intan Jaya, sementara otoritas setempat menyatakan korban justru berasal dari kalangan sipil.