Skandal Suap Hakim CPO: Keadilan yang Diperdagangkan dan Lemahnya Pengawasan Yudisial

Jakarta – Kasus suap yang melibatkan empat hakim dalam penanganan perkara ekspor Crude Palm Oil (CPO) kembali mencoreng wajah penegakan hukum di Indonesia. Anggota Komisi III DPR, Hinca Panjaitan, menyoroti fenomena ini sebagai bukti adanya degradasi moral di kalangan penegak hukum. Menurutnya, beberapa hakim kini menganggap keadilan sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan demi keuntungan pribadi.

"Fakta bahwa hakim terlibat suap menunjukkan betapa naluri dagang telah menggeser integritas. Keadilan seolah menjadi barang yang bisa dibeli, tergantung pada besaran uang yang ditawarkan," tegas Hinca dalam pernyataan tertulisnya. Ia menambahkan, praktik suap semacam ini terjadi karena pelaku melihat manfaat ekonomi lebih besar daripada risiko hukum yang dihadapi.

Penyebab dan Kritik terhadap Komisi Yudisial

Hinca mengidentifikasi dua faktor utama di balik maraknya suap di lingkungan peradilan: - Kekosongan moralitas di kalangan hakim. - Lemahnya pengawasan oleh Komisi Yudisial (KY).

Ia secara khusus menyoroti kinerja KY yang dinilai gagal dalam menjalankan fungsi pengawasan. "Komisi Yudisial layak dievaluasi ulang, bahkan dibubarkan jika tidak mampu menjalankan tugasnya. Lebih baik mengakui kegagalan daripada terus mempertahankan lembaga yang tidak efektif," ujarnya.

Wacana Kenaikan Gaji Hakim dan Godaan Suap

Hinca juga menanggapi usulan peningkatan gaji hakim sebagai solusi pencegahan suap. Menurutnya, langkah ini tidak akan efektif selama celah untuk korupsi masih terbuka. "Meski gaji dinaikkan, godaan suap tetap ada selama pelaku merasa bisa lolos dari hukuman. Transaksi ilegal akan tetap menjadi pilihan selama sistem pengawasan lemah," jelas politikus Partai Demokrat tersebut.

Rincian Kasus Suap CPO

Kejaksaan Agung telah menetapkan tiga hakim sebagai tersangka dalam kasus ini: 1. Agam Syarif Baharuddin (Hakim PN Jakarta Pusat) 2. Ali Muhtarom (Hakim PN Jakarta Pusat) 3. Djuyamto (Hakim PN Jakarta Selatan)

Mereka diduga menerima suap sebesar Rp 22,5 miliar dari Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, untuk memuluskan putusan lepas (onslag) bagi tiga perusahaan besar. Transaksi suap dilakukan dalam dua tahap: - Tahap pertama: Rp 4,5 miliar yang dibagi rata kepada ketiga hakim. - Tahap kedua: Rp 18 miliar dalam bentuk dolar AS yang diberikan kepada Djuyamto.

Kasus ini semakin menguatkan dugaan adanya praktik mafia peradilan yang merugikan negara dan merusak kepercayaan publik terhadap hukum.