Kasus Suap Hakim CPO Soroti Kegagalan Pengawasan Komisi Yudisial
Kasus suap yang melibatkan empat hakim dalam penanganan perkara ekspor Crude Palm Oil (CPO) kembali memantik sorotan terhadap lemahnya pengawasan di lingkungan peradilan. Anggota Komisi III DPR, Hinca Panjaitan, menyatakan bahwa tindakan korupsi oleh hakim mencerminkan degradasi moral dan komersialisasi keadilan. Menurutnya, praktik suap terjadi karena pelaku melihat keuntungan ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan risiko yang dihadapi.
Hinca secara tegas mengkritik kinerja Komisi Yudisial (KY) yang dinilai gagal menjalankan fungsi pengawasan. "Evaluasi mendesak perlu dilakukan terhadap kelembagaan KY. Jika tidak mampu menjalankan tugas, lebih baik dibubarkan," tegasnya. Ia juga menolak wacana peningkatan gaji hakim sebagai solusi pencegahan suap, dengan alasan bahwa godaan korupsi akan tetap ada selama celah hukum masih terbuka.
Berikut kronologi kasus suap yang diungkap Kejaksaan Agung: - Tiga hakim ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Agam Syarif Baharuddin (PN Jakarta Pusat), Ali Muhtarom (PN Jakarta Pusat), dan Djuyamto (PN Jakarta Selatan). - Modus suap dilakukan dalam dua tahap dengan total nilai Rp22,5 miliar, termasuk pembagian uang melalui goodie bag dan transaksi dalam mata uang dolar AS. - Tujuan suap adalah untuk memengaruhi putusan perkara ekspor CPO tiga perusahaan besar agar terdakwa dibebaskan (onslag).
Kasus ini semakin menguatkan tudingan bahwa sistem peradilan Indonesia rentan terhadap praktik transaksi ilegal. Penguatan mekanisme pengawasan internal dan eksternal dinilai sebagai langkah krusial untuk memulihkan integritas lembaga peradilan.