Kejati Sumsel Perluas Penyidikan Kasus Mangkraknya Pasar Cinde ke Kantor Gubernur
PALEMBANG – Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Selatan (Sumsel) memperluas penyelidikan terkait kasus terhentinya pembangunan Pasar Cinde dengan melakukan penggeledahan di Kantor Gubernur Sumsel. Langkah ini merupakan tindak lanjut setelah sebelumnya penyidik menggeledah Kantor Wali Kota Palembang pada Senin (15/4/2025).
Proses penggeledahan di kantor Gubernur Sumsel berlangsung intensif sejak sore hingga malam hari. Sekretaris Daerah (Sekda) Sumsel, Edward Candra, turut mendampingi tim penyidik saat memeriksa beberapa ruangan penting, termasuk Gedung Sekretaris KORPRI, Kantor Biro Hukum, dan Biro Umum Sekretariat Daerah (Setda) Sumsel. Sebelumnya, penyidik juga telah memeriksa Kantor Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Sumsel untuk mengumpulkan dokumen terkait.
Menurut Edward, seluruh dokumen yang diminta penyidik, termasuk surat keputusan dan surat menyurat terkait proyek Pasar Cinde, telah diserahkan secara lengkap. "Pemprov Sumsel berkomitmen mendukung penuh proses penyidikan ini demi mencapai kepastian hukum," tegas Edward seusai penggeledahan. Ia menambahkan bahwa penyelesaian kasus ini sangat krusial untuk memastikan kelanjutan pembangunan Pasar Cinde yang telah mangkrak selama delapan tahun.
Gubernur Sumsel, Herman Deru, menyatakan kesiapannya mengalokasikan anggaran sebesar Rp 100 miliar melalui APBD guna melanjutkan pembangunan Pasar Cinde begitu legal opinion dari Kejati Sumsel keluar. "Kami ingin memastikan proyek ini berjalan sesuai hukum sambil mempertahankan identitas Pasar Cinde sebagai pasar tradisional," ujar Herman. Ia menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh mengubah fungsi utama pasar atau mencampurkannya dengan proyek komersial seperti apartemen.
Pasar Cinde, yang dibangun pada 1958, sempat menjadi sorotan karena nilai sejarahnya. Bangunan ini memiliki arsitektur khas kolonial Belanda, mirip dengan Pasar Johar di Semarang. Pembongkaran pasar pada 2018 untuk dijadikan pasar modern sempat memicu protes dari pedagang dan budayawan setia yang menganggapnya sebagai bagian dari warisan budaya Palembang.